Monday, August 02, 2004

Kemerdekaan Pers Sedang Diuji di Jatim

Kompas, Senin, 8 Juli 2002

Kemerdekaan Pers Sedang Diuji di Jatim

"Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers" (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal ke-19)

HAL tersebut tertuang dalam dokumen yang lazim dijadikan rujukan sebagai kesepakatan internasional mengenai perlindungan hak kebebasan berekspresi adalah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), yang disepakati PBB tahun 1948.

Dalam konteks perundangan-undangan kita, kebebasan berekspresi dipayungi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Payung hukum tersebut bertujuan untuk menegaskan bahwa kebebasan berekspresi (freedom of expression) adalah milik setiap manusia, milik rakyat, termasuk media massa. Dalam konteks ini, media dipercaya memiliki hak untuk menulis atau menyiarkan apa pun yang menurutnya baik.

Namun, kita menjadi pesimistis kalau melihat realitas dunia pers saat ini. Kebebasan berekspresi tidak lagi menjadi hak yang terlindungi, bahkan dirampas dengan cara kekerasan. Peristiwa kekerasan terhadap kuli tinta di Surabaya oleh aparat merupakan bukti konkret bahwa kebebasan berekspresi sedang diuji.

Kasus di Surabaya tersebut merupakan rangkaian panjang yang terus terjadi di dunia pers. Sepanjang periode tahun 1999 hingga Juni 2001, di Aceh tercatat 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan. Bahkan, satu orang korban di antaranya tewas. (Kompas, 6/7/2001)

Pada bulan Januari ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sedikitnya tiga kasus kekerasan oleh polisi yang menimpa wartawan di berbagai daerah. Sedangkan akhir bulan Mei sampai 1 Juli ini sedikitnya terjadi enam aksi kekerasan terhadap wartawan yang tiga di antaranya dilakukan oleh polisi. Kasus kekerasan terhadap wartawan terakhir kali terjadi di Surabaya dan di Sidoarjo yang salah satunya dilakukan oleh aparat polisi.

Dari data tersebut, tiga kasus terjadi di Jatim yakni di Kediri, Sidoarjo, dan Surabaya. Menariknya, dalam satu minggu terakhir delapan wartawan cedera (lima oleh aparat kepolisian) dan empat di antaranya terjadi di Jatim.

Deklarasi HAM dan UU Pers yang seharusnnya menjadi panduan penegakan hukum tidak berfungsi. Hal ini persis seperti apa yang digambarkan sastrawan kuno Inggris Shakespeare bahwa "hukum belum mati tetapi telah lama tidur". Peristiwa di Surabaya di mana wartawan menjadi korban kekerasan menunjukkan titik lemah penegakan hukum dan perlindungannnya terhadap kerja wartawan.

Ironisnya, yang melakukan tindak kekerasan ini adalah aparat kepolisian yang notabene adalah penegak hukum. Hal ini menunjukkan aparat Kepolisian RI (Polri) tidak menghargai profesi wartawan sekaligus dipertanyakan kapabilitasnya sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap penegakan hukum.

Kekerasan institusional

Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia Afnan Malay (Kompas, 29/1), tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang terjadi secara berulang-ulang dapat diartikan sebagai tindakan institusional yang dipedomani oleh aparat kepolisian. Selain itu, tindakan polisi yang melakukan pemukulan terhadap wartawan menandakan wartawan masih dianggap sebagai penghambat kerja-kerja polisional, dan polisi takut kalau tindakannya diketahui publik. Pemukulan juga memperlihatkan bahwa polisi tidak profesional, belum berubah dari paradigma lama yang represif, dan jika diberi kewenangan selalu memakai penyelesaian kekuasaan.

Pola represif yang dimainkan oleh kepolisian dalam menangani kasus tidak lepas dari struktur kebijakan polri yang masih memegang jalur komando dan ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekerasan.

Hal ini sekaligus merupakan cerminan kepolisian sebagai bagian dari sebuah rezim kekuasaan negara, yang menjauhkan diri dari kekuatan kontrol sipil. Relasi kuasa ini menggambarkan struktur "kekerasan". Itu akhirnya akan melahirkan model kerja yang menonjolkan kekerasan. Karena itu, tidak aneh jika rentetan kekerasan oleh aparat menimpa para kuli tinta.

Apa yang terjadi di Sidoarjo dan Surabaya minggu lalu, bukan sekadar ancaman terhadap keselamatan wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik di lapangan, tetapi juga menimbulkan efek berantai terhadap kemerdekaan pers.

Misalnya, akan memberikan citra negatif terhadap pelaku kekerasan pada pemberitaan pers selanjutnya. Atau kemungkinan lain, pemberitaan media menyangkut aksi kekerasan tersebut menghindari penyebutan aktor kekerasan, karena dianggap sensitif dan berisiko. Maka jelas terlihat, kemerdekaan pers tidak berkembang kondusif ketika ada pihak-pihak yang menggunakan kekuasaan ototnya untuk memaksakan kehendaknya, terlebih aparat kepolisian.

Adanya aksi kekerasan yang menimpa jurnalis tersebut, menunjukkan kemerdekaan pers sedang menghadapi tantangan serius. Khususnya, menyangkut kemerdekaan jurnalis untuk memperoleh informasi dan menyiarkannya. Persoalan kekerasan ini berpotensi membonsai kemerdekaan pers yang tengah dinikmati publik.

Untuk itu, pola kekerasan tersebut harus segera dihentikan dan dipotong. Salah satunya dengan melakukan langkah hukum terhadap aparat kepolisan sekalipun, sebagai salah satu bentuk kontrol sipil terhadap aparat agar mereka jera. Selama ini, penyelesaian kekerasan polisi dilakukan hanya dengan permintaan maaf yang mencerminkan "kekeluargaan". Pola ini menjadi insiden buruk bagi perkembangan profesionalisme kepolisian, karena justru membesarkan asumsi bahwa aparat negara itu tidak pernah salah.

Proses hukum ini diperkuat dengan adanya UU Pers, Pasal 18 Ayat (1) menetapkan, mereka yang sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi tugas wartawan untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi diancam hukuman pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Namun, menjadi rahasia umum jika pelaku kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat, proses hukumnya akan berlarut-larut dan kalaupun diproses hanya pelaku di lapangan, sedangkan sang komandan tidak tersentuh. Karena itu, kita pesimistis kekerasan terhadap jurnalis, khususnya yang terjadi di Jatim, dapat dituntaskan. Maka, saatnya berbagai organisasi jurnalis, ornop, dan masyarakat luas yang berkepentingan terhadap kemerdekaan pers, menjadikan kekerasan tersebut sebagai isu bersama untuk menentukan agenda kebebasan berekspresi ke depan, kalau kita tidak ingin melihat kemerdekaan pers "mati" di Jatim.


EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang dan aktivis Ornop Lentera Foundation Malang

No comments: