Sunday, August 08, 2004

PEMILU TIDAK ADA ARTINYA BAGI NELAYAN?

Kompas Jatim, Rabu, 7 April 2004

PEMILU TIDAK ADA ARTINYA BAGI NELAYAN?
Oleh: E. Musyadad

SIAPAPUN sependapat, jika pemilihan umum (pemilu) 2004 merupakan perhelatan demokrasi yang sangat strategis bagi bangsa Indonesia. Sebagai titik balik perubahan peta politik, pemilu 2004 menyimpan banyak harapan dari banyak kalangan, mulai dari para mahasiswa, tokoh masyarakat sampai politikus sendiri. Harapan itu tentunya tidak jauh-jauh dari lahirnya pemerintahan legitimate yang lebih menghamba pada hukum dan aspiratif.


Kelompok lain yang lebih masif dan heterogen adalah masyarakat kecil yang relatif tidak berpendidikan berharap kebutuhan dan kepentingan rakyat umum dapat dipenuhi. Kelompok ini salah satunya adalah nelayan Jawa Timur (Jatim).Saat ini diperkirakan jumlah nelayan di kawasan Jatim kurang lebih tiga persen dari total penduduk Jatim sebanyak 34.899.236 jiwa (2000) tersebar di pantai utara dan selatan. Artinya jumlah nelayan di Jatim tersebut menyimpan suara yang besar bagi kepentingan Jatim dalam pemilu 2004 ini. Atau dalam bahasa partai politik (parpol), nelayan di Jatim merupakan massa konkrit dan berpotensi mendongkrak suara guna merebut kursi di legislatif.Fenomena ini merupakan gambaran realistis dimana nelayan menjadi bagian yang bisa “dimanfaatkan” untuk memenangkan pemilu. Lihat saja misalnya di kawasan nelayan, beraneka ragam bendera parpol berkibar diatas perahu-perahu nelayan. Tidak saja parpol yang berasas pancasila, tetapi juga banyak parpol yang berasas agama mengibarkan benderanya di kawasan nelayan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah berkibarnya bendera parpol di kawasan nelayan, juga bentuk komitmen parpol mengibarkan pembelaannya untuk memperjuangkan nasib nelayan? Tunggu dulu.Karena sebelum membela tentu saja harus tahu apa yang menjadi persoalan. Nelayan Jatim yang tersebar di wilayah pantai utara maupun selatan, dibagi empat kategori yakni nelayan industri, nelayan tangkap, nelayan budidaya dan nelayan buruh industri. Dari empat kategori tersebut, hampir semuanya merupakan nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan secara harian (one day fishing). Hal ini menunjukkan nelayan Jatim menggantungkan hidup hari esok dengan tangkapan hari ini. Posisi nelayan yang demikian kemudian memaksa hadirnya tengkulak.Dalam proses ekonomi, memang tengkulak dapat dikatakan sebagai roda penggerak perekonomian desa-desa nelayan. Selain itu, tengkulak memiliki keunggulan dibandingkan bank-bank resmi pemerintah atau lembaga perkreditan lain yakni sifatnya yang informal dan fleksibel. Namun, posisi tengkulak ini menjadi gambaran adanya ekspolitasi nelayan yang tidak nampak. Kenapa ? Satu-satunya komoditas nelayan adalah ikan, padahal komoditas ikan ini sifatnya rentan waktu. Sehingga, mau tidak mau nelayan harus segera menjual dengan harga berapapun. Disinilah letak “bargaining” nelayan yang lemah dalam menjual harga ikan, sehingga mereka sadar atau tidak telah masuk dalam perangkap tengkulak. Dominasi tengkulak ini juga dikarenakan tidak berjalannya mekanisme tempat pelelangan ikan (TPI) sebagaimana mestinya.Persoalan lain yang sering dihadapi oleh nelayan adalah konflik antarnelayan Jatim yang sering memicu kekerasan. Sumber pokok konflik itu berupa masalah alat penangkap ikan dan perebutan wilayah penangkapan ikan. Alat penangkapan ikan yang menyulut masalah konflik antarnelayan adalah maraknya penggunaan trawl dan mini-trawl oleh sebagian nelayan yang dapat merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Disisi lain nelayan juga belum mengetahui tentang wilayah laut yang menjadi daerah penangkapan ikan tidak dapat dibatasi oleh koordinat.Pemberlakuan Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Daerah yang memberikan batasan daerah perairan --jarak hingga empat mil, kewenangan pemerintah daerah kota dan kabupaten; jarak empat mil sampai dua belas mil, kewenangan pemerintah provinsi; jarak lebih dari 12 mil, kewenangan pusat-- justru sering menjadi pemicu perebutana wilayah tangkapan ikan. UU ini dipahami nelayan sebagai batasan yang mengikat, sehingga nelayan dari wilayah lain di sebelahnya tidak boleh masuk ke wilayah mereka.Pola pikir nelayan Jatim ini terjadi bukan semata-mata kesalahan nelayan, tetapi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak mampu mensosialisasikan peraturan dengan maksimal. Sehingga, untuk meredam dan mengelola konflik tersebut ada baiknya pemeritah daerah membuat peraturan daerah sebagai bagian implementatif untuk mengelola sumber daya milik umum (common property) dengan memperhatikan kelestarian lingkungan serta rasa keadilan bagi nelayan kecil.Maka, dari beberapa catatan diatas menujukkan persoalan nelayan tidak semudah membaca kibaran bendera di kawasan pantai. Jika selama ini parpol gencar memberikan imbalan rupiah untuk nelayan yang mengibarkan benderanya, pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan adalah tahukah parpol tentang persoalan yang mendera nelayan di Jatim. Karena gaya sinterklas yang dilakukan parpol dengan membagi-bagikan sembako dan imbalan-imbalan lain, justru telah memicu konflik horisontal yang telah tumbuh dalam komunitas nelayan sebelumnya.Sedangkan kalau kita simak, parpol yang ada di Jatim saat ini tidak ada yang memiliki program untuk nelayan yang signifikan dan teknis untuk mengangkat kesejahteraan nelayan. Parpol di Jatim hanya memberi arahan program yang disifatnya normatif bagi nelayan yang termaktub dalam tema usang seputar “meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil”. Tetapi, bagaimana dengan tengkulak, potensi konflik antar nelayan dan kepastian hukum?Melihat hal ini tentu saja sah jika mengatakan jika parpol hanya menjadikan nelayan sebagai mesin politik untuk mendongkrak suara. Tidak lebih tidak kurang. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh nelayan kita? Mungkin ada baiknya jika menerima saran musisi Franky S, “terima saja uangnya, tetapi jangan pilih mereka”. Hari Selasa kemarin, sehari setelah hari pencoblosan, komunitas nelayan kita akan memperingati hari Nelayan Nasional (6 April) sebagai bagian dari upaya memperbaiki nasibnya kedepan.

Pemerhati sosial UMM

No comments: