Sunday, January 02, 2011

POLISI KITA YANG DIBORGOL GLOBALISASI

POLISI KITA YANG DIBORGOL GLOBALISASI
Oleh : Edy Musyadad*
Dimuat pada: Buletin Elektronik SADAR Edisi 330 Tahun VI 2010
ISSN: 2086-2024
Sumber: prakarsa-rakyat.org

Kepolisian Republik Indonesia beberapa bulan yang lalu mendapat bantuan senilai 3,6 juta dollar Australia dari Kepolisian Federal Australia atau AFP terkait penanganan penyelundupan manusia pencari suaka yang melintasi wilayah Indonesia sebelum ke Australia. Bantuan itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Australia berharap dengan bantuan ini jangan ada lagi penyelundupan yang masuk ke Australia, baik melalui Indonesia maupun langsung ke Australia sebagai negara tujuan.


Harapan ini jauh-jauh hari sudah diamini oleh presiden kita di awal tahun 2010. Presiden SBY mendapat sambutan berupa standing ovation dari anggota Parlemen Australia ketika pidato di hadapan anggota parlemen. Dalam pidato itu, Presiden berjanji untuk memenjarakan para penyelundup manusia perahu lebih dari lima tahun.

Fakta ini menjadikan kita turut prihatin dan juga risih. Bagaimana kepolisian kita dikontrol oleh pihak asing. Dikontrol dalam bahasa halusnya diberi dana untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki pihak luar (Australia). Artinya kepolisian kita menjadi agen pihak lain. Kasus ini menjadi runyam jika kita telusuri lebih dalam, berkaitan tentang hubungan Australia dan Indonesia dalam masalah imigran gelap dan peran polisi.

Persoalan imigran gelap bagi Indonesia seperti keranjang sampah. Karena para imigran itu tujuannya adalah Australia, bukan Indonesia. Tapi yang menghadapi masalahnya selalu saja pihak pemerintah Indonesia. Hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada imigran gelap yang kebanyakan berasal dari Pakistan dan Afghanistan. Selama bulan April sampai Juni 2009, tercatat ada 500 imigran gelap yang transit di Indonesia dan Juli sebanyak 126 orang.

Fenomena sampah manusia ini akan semakin besar karena pihak pemerintah Australia sudah memutuskan tidak lagi membuka peluang suaka politik bagi warga negara lain. Yang artinya, para imigran tersebut mau tidak mau ”terdampar” di Indonesia karena Australia tidak lagi membuka peluang suaka politik.

Inilah yang menjadi persoalan bagi Indonesia. Persoalan imigran gelap semestinya menjadi hubungan yang saling menguntungkan antara Indonesia dan Australia, tidak seperti sekarang dimana Kepolisian kita yang dibebani dengan persoalan imigran ini.

Bahwa kasus imigran gelap bukan persoalan angka semata, dampak dari persoalan imigran akan sangat luas. Bagi pemerintah Indonesia, kita dituntut untuk memberikan penampungan yang layak dan menjamin hak-hak mereka, karena kalau tidak, Indonesia akan mendapat sorotan buruk di mata dunia internasional.

Namun, nampaknya Australia tidak ingin ambil resiko berhadapan dengan dunia internasional. Sehingga memilih mencegah imigran ilegal dengan pemberian dana ke Indonesia sekitar Rp 27,7 miliar. Dana itu akan digunakan untuk operasional Badan Reserse Kriminal serta Badan Pembinaan dan Keamanan, khususnya polisi laut yang menangani masalah ini. Selain itu, dana akan digunakan untuk merenovasi tempat-tempat penampungan para pencari suaka yang tertangkap.

Gelontoran dana dari Australia ini merupakan bentuk kekalahan diplomasi kita. Gelontoran dana sama artinya yang memberi lebih mampu dan yang menerima membutuhkan bantuan. Masalahnya, siapa yang berhak mendefinisikan siapa yang membutuhkan masalah imigran gelap ini selesai.

Dalam persoalan imigran, Australia sebagai negara tujuan sangat berkepentingan agar dinilai bersih dari pelanggaran HAM. Sehingga Indonesia sebagai negara kunci di wilayah pasifik, dipasang sebagai penghalau imigran gelap tersebut agar jangan sampai masuk ke Australia.

Persoalan imigran gelap tersebut membuat posisi kepolisian semakin sulit. Di satu sisi kepolisian kita sedang gencar-gencarnya menjalankan reformasi agar menjadi kepolisian yang bertugas menjaga ketertiban umum dan tunduk kepada kontrol demokrasi. Namun, di lain sisi, reformasi itu justru didorong-dorong untuk “mendukung” kepentingan asing.

Kepolisian diarahkan menjadi penjaga kepentingan pihak luar bukan memberikan pelayanan, tanggap dalam merespon ancaman, serta responsif dalam memahami kebutuhan masyarakat. Kepolisian kita diperkuat tetapi untuk sebuah tujuan menyelesaikan masalah yang dipesan pihak luar. Apakah dengan begitu kepolisian kita mulai diborgol oleh pihak asing?

Di tengah realitas kepolisian yang sedang dibelit dengan berbagai persoalan yang membuat posisi kepolisian lemah, maka kita sebagai organisasi sipil patut mendorong dan memperkuat kepolisian kita dengan mendorong polisi agar independen dalam menjalankan tugas dan menjauhkan diri dari pengaruh politik.

Jangan sampai posisi kepolisian yang lemah saat ini justru diambil alih oleh pihak asing dengan memperkuat kepolisian menjadi agen kepentingan global. Karena polisi adalah alat negara yang sesuai konstitusi sebagai penjaga ketertiban dan kenyamanan rakyat, bukan kenyamanan pihak asing. Dengan demikian arah reformasi kepolisian semakin dekat dengan yang kita impikan sebagai polisi sipil yang kuat dan bertanggungjawab atas setiap tindakan yang diambil serta menghormati hak asasi manusia.

* Penulis adalah Penulis adalah alumnus Workshop dan Pelatihan Advokasi Reformasi Sektor Keamanan Untuk Ahli Sipil, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jombang-Jawa Timur.

No comments: