Sunday, August 13, 2006

BUKAN SUBSIDI BENIH YANG DIBUTUHKAN

BUKAN SUBSIDI BENIH YANG DIBUTUHKAN
Oleh: E. Musyadad
Penulis adalah Staff pada Yayasan Madani Jombang, anggota Forum Belajar Bersama
Dimuat pada Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org
SADAR (Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi) Edisi: 19 Tahun II - 2006
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Petani dari masa ke masa dibebani dengan persoalan-persoalan yang tidak tertanggungkan. Pupuk dan pestisida mahal, harga panen rendah, serangan hama menggila, air irigasi kurang, siklus musim yang tidak jelas, dan masalah lainnya yang silih berganti. Belum muncul solusi dari persoalan- persoalan tersebut, ada ancaman lagi bagi petani yakni, adanya ketergantungan terhadap benih. Benih bagi petani adalah anak yang sedang dikandung, sehingga tanpa benih mereka tidak dapat lagi beranak-pinak. Tanpa benih, petani tidak akan bisa makan.


Hal inilah yang mendasari gagasan adanya subsidi benih bagi petani. Beberapa hari yang lalu, pemerintah melalui Dinas Pertanian (menterinya) mengunjungi PT Benih Inti Subur Intani (PT BISI) di Kediri. Pemerintah memberikan subsidi benih bagi petani senilai 1,7 triliun (Kompas,15/07/06). Pertanyaan dibenak kita muncul, kenapa benih bagi petani harus disubsidi? Apakah memang benih sudah sebegitu langka dan mahalnya di negeri yang konon berlimpah keanekaragaman hayatinya?
Memang, benih sudah langka dan mahal. Tanpa kita sadari benih-benih peninggalan nenek moyang kita menghilang dan sulit kita dapatkan. Konon sekarang benih-benih pertanian hanya ada di negara tetangga saja. Benih yang dulu beragam dan dapat langsung kita tanam, sekarang tidak ada pilihan yang beragam kecuali hanya itu-itu saja (benih yang sudah diberi nama perusahaan-peresahaan tertentu). Misalnya benih jagung yang kita kenal saat ini hanyalah benih jagung hibrida saja dari jenis pioneer, NK 11, C7, BISI, dan lain-lain. Kalau beras, kita tidak tahu lagi rojo lele yang dulu terkenal, sekarang lenyap tidak tersisa. Kalaupun petani harus menanam rojo lele, harus membeli benihnya dengan mahal.
Kenapa petani kita tergantung benih? Seiring hilangnya benih-benih lokal, muncul benih-benih baru yang (katanya) sebagai penemuan perusahaan pembenihan. Karena benih-benih ini didapat dari penelitian panjang yang mengeluarkan banyak uang, sehingga benih-benih unggul ini harus dijual mahal. Maka, untuk menjaga benih ini agar tidak dipalsukan, perusahaan benih merancang benih yang hanya dapat ditanam satu kali atau dua kali saja. Sehingga, petani jika ingin terus menanam harus membeli benih baru, karena hasil panennya tidak dapat dibenihkan.
Benih-benih ini tidak hanya padi, jagung atau kedelai saja, tetapi buah-buahan (pepaya, melon) hingga sayuran seperti tomat , terong, kentang, labu, bahkan kangkung bibitnya sudah diperjualbelikan di pasar. Ada kecenderungan dimana benih hanya dijual dan dikuasai oleh perusahaan pembenihan saja. Singkatnya, apapun jenis pertaniannya, petani harus membeli benih kepada perusahaan-perusahaan pembenihan. Inilah yang menyebabkan petani tergantung benih.
Tentu saja ini membahayakan bagi keberlangsungan hidup petani. Telah terjadi proses ketidakadilan yang menimpa petani secara diam-diam. Karena bibit adalah sumber daya alam yang diciptakan Tuhan, bukan milik perusahaan, seharusnya semua orang tidak boleh mempatenkan benih-benih pertanian. Tidak seharusnya benih hanya dikuasai oleh segelintir orang yang bertopeng dibalik nama perusahaan.
Petani di kabupaten Jombang misalnya (dan di kota lain tentu saja sama), pertanian menjadi lahan subur bagi perusahaan pembenihan ini dalam memasarkan produknya. Jika beberapa waktu lalu kasus benih jagung di Nganjuk dan Kediri sempat menjadi persoalan, seharusnya kita tanggap dalam melihat gejala adanya “rezim benih” ini. Bayangkan, inisatif rakyat dengan mencipta benih justru dianggap melanggar hukum dan harus divonis penjara.
Secara gamblang, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mendukung gagasan rezim benih ini. Kebijakan yang dikeluarkan terakhir, subsidi benih bagi petani, maknanya sama dengan membenarkan rezim benih menguasai jantung nadi petani. Dalam beberapa kasus, pemerintah semakin brutal mendukung rezim paten dengan memfasilitasi perusahaan-perusahaan pembenihan masuk ke petani langsung atas nama proyek-proyek yang dikemas pertanian unggulan dan demi ketahanan pangan. Harusnya pemerintah memberi “warning” agar pihak perusahaan pembenihan tidak masuk ke petani di daerahnya. Karena dengan masuknya rezim benih langsung ke petani, mengakibatkan tingkat ketergantungan benih akan semakin luar biasa.
Maka, sebelum petani semakin kehilangan kemerdekannya dalam bertani, pemerintah harus segera memenuhi kebutuhan benih dengan murah tetapi bukan dengan subsidi. Lebih jauh rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah adalah segera mengubah pola kebijakan menuju sistem pertanian yang berbasis masyarakat yang mandiri, bukan pertanian yang bergantung pada benih unggul yang hak patennya dimiliki oleh perusahaan swasta. Kemandirian petani ini harus dimulai dari kemandirian petani atas benih. Pemerintah harus mendukung usaha petani yang “mencipta” benih. Singkatnya, jika kita ingin memandirikan petani, ketergantungan benih adalah prioritas yang harus diselesaikan. Sekali lagi, bukan subsidi benih yang dibutuhkan petani melainkan benih yang murah dan beragam jenis.
Read More..

MONOKULTURISASI PERTANIAN DAN REZIM PATEN BENIH

MONOKULTURISASI PERTANIAN DAN REZIM PATEN BENIH
Oleh: E. Musyadad
Penulis adalah Staff Divisi Advokasi Yayasan Madani Jombang
Kompas Jatim, 7 April 2005

DI Nganjuk Jawa Timur bulan Maret 2005 lalu, muncul kasus hukum yang melibatkan petani dan pihak perusahaan pembenihan jagung. Perusahaan pembenihan itu mengklaim bahwa petani tersebut mengelola, meneliti, dan menanam serta menjual benih jenis jagung yang hak patennya mereka miliki. Persoalan inilah yang diangkat ke meja hijau dengan alasan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Akhirnya, petani tersebut diancam tidak boleh menanam jagung dan denda berupa uang. Persoalan ini menarik karena merupakan kasus pertama kali yang terjadi di Jatim yang berhubungan dengan HaKI dan dunia pertanian.


Melihat kasus ini, saya teringat dengan apa yang menimpa Percy Schmeiser, petani kanola (bahan minyak goreng) di Kanada pada tahun 1997. Saat itu, pengawas Monsanto (perusahaan benih dan pestisida) masuk ke ladang Percy tanpa izin, dan mengambil tanaman kanola untuk diteliti di laboratoriumnya. Hasilnya, kanola-kanola tersebut mengandung gen rekayasa yang tahan herbisida yang selama ini diproduksi oleh Monsanto.
Monsanto menuduh Percy telah mencuri produknya tanpa izin, sehingga Monsanto menuntutnya dengan tuduhan menanam kanola transgenik tanpa membayar biaya teknologi. Tentu saja petani tersebut marah, karena selama ini dia tidak pernah menanam benih transgenik. Setelah ditelusuri, ternyata transgenik yang tumbuh di ladang Percy terjadi karena proses penyerbukan oleh angin. Karena di wilayah tempat tinggal Percy, memang hampir seluruhnya petani kanola kanola menanam transgenik.
Pada 21 Mei 2004 lalu, Mahkamah Agung Kanada menetapkan Percy bersalah karena melanggar hak paten, sehingga Percy harus membayar denda sebesar USS 140,000 untuk biaya teknologi. Keputusan ini berarti memperluas hak paten Monsanto bukan hanya pada benih yang direkayasa secara genetik, melainkan juga diperluas hingga pada organisme hidup tempat gen itu mendekam sengaja atau tidak sengaja.
Kasus semacam ini sangat mungkin terjadi di tahun-tahun mendatang karena ada tren dalam dunia pertanian yang bergerak ke arah monopoli benih. Dalam beberapa tahun terahir, perusahaan benih giat melakukan kampanye langsung ke petani tentang keunggulan benih yang mereka miliki. Bahkan, mereka menjalin kerja sama dengan petani untuk menanam dan akan membeli hasil panennya.
Dalam prakteknya, sosialisasi ini difasilitasi oleh pemerintah daerah, dinas pemerintah, karena wacana pemerintahpun sama (dikendalikan) dengan perusahaan benih yang saat ini bergerak di petani. Bahwa keterpurukan petani saat ini karena mereka tidak dapat memilih benih yang tepat (unggul), selain itu karena areal penanaman yang terlalu luas, yang mengakibatkan over produksi. Maka, perlu ada pengalihan jenis tanaman serta mendapat akses benih yang unggul.
Gagasan semacam ini sangat kuat di beberapa daerah, semacam Jombang, Lamongan, Mojokerto, Nganjuk, Kediri, Tulungagung dan Malang serta daerah lain di Jawa Timur. Pemerintah dalam beberapa kasus di Jombang misalnya, mempresentasikan pentingnya mengubah jenis tanaman agar petani tidak terus merugi. Saat ini, benih tanaman yang gencar ditawarkan kepada petani adalah jagung unggul. Pemerintah biasanya mengundang pembicara dari pihak perusahaan pembenihan jagung yang selama ini memang concern pada pembenihan jagung.
Dalam aras ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat membuat banyak perusahaan nasional dan multinational melakukan langkah-langkah inovatif dalam memberikan solusi kepada masyarakat dalam mencapai pertanian yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Apalagi, selama ini Indonesia belum dapat keluar dari kemelut kurangnya produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industrinya sendiri. Maka, perusahaan nasional dan multinational menawarkan produk benih unggulnya sebagai jawaban atas tantangan swasembada pangan tersebut dengan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Akhirnya, pemikiran ekonomis dari perusahaan-perusahaan pembenihan tersebut “nyambung” dengan gagasan pemerintah yang ingin mengangkat derajat petani. Namun, sikap pemerintah ini terlihat sangat naif karena tidak melihat dampak yang akan muncul dalam jangka panjang. Kenapa? Karena, “mimpi’ tentang hasil yang besar dari benih produk unggul ini akan menyingkirkan benih lokal yang selama ini akrab dengan petani. Sedangkan benih baru sudah dimiliki oleh perusahaan pembenihan, sehingga petani harus membeli jika ingin menanam.
Rezim Paten
Jika hal ini terjadi, petani sudah terperangkap dalam jurang ketergantungan terhadap benih-benih yang dikelola oleh perusahaan. Artinya, tidak lagi mandiri dalam menanam. Parahnya, benih-benih produk perusahaan ini selain sudah dipatenkan, biasanya tidak bisa ditanam untuk terus menerus. Dalam beberapa kali panen, hasilnya sudah tidak bisa lagi dibenihkan, bahkan ada yang sekali saja tanam langsung “mati” yang disebut benih terminator (patennya kini dimiliki Monsanto). Sehingga, petani tidak dapat lagi menanam kecuali harus membeli benih. Padahal di negara kita, petaninya adalah miskin yang hidupnya subsisten sehingga mereka tak mampu membeli benih tanaman yang baik (karena baik pasti harganya mahal).
Maka, paten yang identik dengan monopoli manfaat secara legal itu akan meminggirkan petani itu sendiri nantinya. Pada titik ini, otonomi daerah sudah merupakan wacana strategi untuk membuka jalan tol bagi kontrol monopolistis dan ini menandakan arah keberlanjutan paradigma monokulturisasi. Singkatnya, kontrol terhadap petani melalui sistem monopoli benih sedang bergulir.
Dalam argumentasi baik yang pro maupun kontra terhadap skenario pertanian kita ini, jelas terasakan betapa kekuatan perusahaan lintas-negara (TNC) sudah sangat mampu mengendalikan sistem pertahanan kita. Misalnya, pada pada tahun 1999, telah terjadi uji coba lapangan tanaman transgenik di Indonesia. Masyarakat tidak tahu kemana arah teknologi transgenik ini, karena terkesan ditutup-tutupi. Sedikit pihak yang mengetahui bahwa PT Monagro Kimia (anak perusahaan Monsanto) telah melakukan uji coba lapangan untuk jagung Bt di Jombang, Malang, dan Sulawesi Selatan (Berita Bumi, Oktober 1999). Tanaman perkebunan lain yang diuji adalah tebu Bt di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan. Sebuah upaya menciptakan varietas tebu transgenik yang tahan terhadap hama penggerek batang, walaupun masih belum berhasil (Kompas, 8 Agustus 2000).
Artinya, petani selama ini kecolongan dengan gaya perusahaan pembenihan yang bermulut manis, dimana mereka mengembangkan produk ungggul untuk memberdayakan para petani. Padahal hanya ingin menjual sekaligus menguasai pertanian melalui produk benih unggul dalam skenario rezim patennya. Ironisnya, pemerintah sudah terkena rayuan ini, sehingga justru berperan sebagai fasilitator di lapangan.
Maka, diprediksikan kondisi petani akan semakin terpuruk di masa depannnya, bahkan tidak mustahil, nantinya akan berujung di balik terali penjara, jika rezim paten semakin kuat. Penggunaan suatu produk teknologi maju termasuk bioteknologi dalam rangkaian rezim paten harus disikapi dengan kritis. Salah satunya dengan pembuatan suatu produk hukum yang bersifat legal. Selama ini, Indonesia terkesan lambat dalam membuat Undang-Undang Keamanan Hayati.
Selain itu, menurut Mardiana (2000), seharusnya pemerintah dapat mengadakan dailog vertikal dan horizontal untuk mengambil keputusan tentang arah kebijakan pengawasan riset, uji coba, pelepasan, penggunaan dan monitoring produk transgenik dan benih unggul lainnya. Langkah lain yang harus dilakukan sekarang adalah mengadakan moratorium atas impor, penjualan dan pelepasan makanan dan produk transgenik hingga ada peraturan yang jelas dan ada bukti keamanannya. Hal lain yang dapat dilakukan adalah memberlakukan sistem label serta menyusun data base produk dan uji coba produk transgenik yang ada di Indonesia dan menyebarkan informasi tersebut ke publik.
Agenda inilah yang saat ini mungkin dilakukan untuk membatasi gejala monokulturisasi pertanian dengan pematenan benih yang akan ditanam petani kita. Karena dengan semakin memfasilitasi perusahaan swasta masuk ke wilayah pertanian, tanpa kita siapkan alat proteksinya, pemerintah sebenarnya telah membuat lubang kubur bagi masa depan petani. Akhirnya, petani hanya sekedar menjadi buruh yang menanamkan benih perusahaan, tidak menjadi raja lagi atas nasibnya.
Read More..

URGENSI MEMBANGUN KOMISI TRANSPORTASI DAERAH

URGENSI MEMBANGUN KOMISI TRANSPORTASI DAERAH
Oleh : E. Musyadad
Penulis adalah Peneliti Transportasi Yayasan Madani Jombang (Yamajo)
Kompas Jatim, 29 Oktober 2004

SEBAGAI konsekuensi pemberlakukan otonomi, kewenangan yang dulu hanya dikuasai oleh pemerintah pusat, kini telah didistribusikan ke daerah. Sehingga, sudah lama pemerintahan daerah mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menetapkan kebijakan yang terbaik bagi masyarakatnya, termasuk persoalan transportasi. Namun, setelah lima tahun diberlakukan otonomi, kenapa tidak muncul perubahan yang lebih baik dalam transportasi. Justru, kita melihat kendaraan di jalan raya yang tidak teratur, semrawut, berjubel dan potensi kecelakaan semakin membesar. Singkatnya, telah terjadi penurunan jumlah angkutan umum dan jalan diisi oleh kendaraan pribadi yang berkembang pesat dari roda empat hingga sepeda motor.


Faktualisasi peningkatan kendaraan pribadi dan menurunnya kendaaraan umum ini membawa dampak yang beraneka ragam. Pertama, peran monitoring dan kontrol yang semakin sulit dilakukan. Kedua, kendaraan pribadi lebih banyak membutuhkan ruang lebih lebar, sehingga jalan menjadi padat dan ramai. Ketiga, situasi jalan yang padat ini mengakibatkan potensi angka kecelakaan semakin tinggi. Keempat, banyaknya kendaraan merupakan sikap kita yang tidak hemat energi. Sedangkan kita tahu, energi yang digunakan dalam dunia transportasi merupakan energi yang tidak dapat diperbaruhi. Kelima, selain itu polusi menjadi persoalan yang tidak dapat dihindari. Keenam, kebijakan transportasi tidak lagi memperhatikan kelompok miskin yang tidak memiliki akses.
Konsep “Jalan untuk Manusia”
Dampak-dampak yang muncul ini kemudian memunculkan pertanyaan apa sebenarnya yang salah dalam proses otonomi. Setelah daerah diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan sendiri, kenapa tidak muncul inisiatif daerah untuk mengangkat, melindungi dan menyejahterakan warganya dari himpitan persoalan transportasi yang semakin ruwet ini.
Salah satu penyebabnya adalah pola pikir pemerintah daerah yang masih “lurus dan kaku”, tidak berpikir visioner secara berkelanjutan. Maka, walaupun wewenang yang dimiliki semakin besar dan luas, karena konsep yang dijalankan tidak berkelanjutan, pemerintah daerah tidak mampu menjernihkan transportasi. Justru wewenang dalam otonomi ini menghasilkan persoalan baru, munculnya ketidakadilan, lingkungan yang memburuk dan kelompok miskin semakin kehilangan akses dan perlindungan.
Salah satu pola pikir “lurus dan kaku” dapat dilihat dalam wacana jalan. Pada dasarnya jalan dibangun untuk memfasilitasi pergerakan manusia dan barang. Namun, saat ini konsep jalan tersebut telah bergeser dari jalan untuk manusia menjadi jalan untuk kendaraan. Hal ini tidak terlalu merisaukan jika kendaraan yang ada di jalan adalah non motor. Tetapi, sejarah kendaraan yang diawali dari kendaraan non motor dalam perkembangannya telah disingkirkan oleh industri dengan mengganti kendaraan bermotor. Sehingga, jalan saat ini pemahamannya include dengan eksistensi kendaraan bermotor.
Dus, padatnya jalan oleh kendaraan bermotor adalah bentuk nyata dari konsepsi jalan yang telah bergeser. Jalan telah menjadi kawan seiring dengan kepentingan industri. Untuk mendapat keuntungan, industri harus membuat pasar agar ada konsumsi kendaraan bermotor. Maka, jalan yang baik adalah prasyarat untuk membuka pasar yang lebih luas dan masif tersebut.
Dari logika melingkar ini, transportasi bukan lagi semata-mata persoalan teknis melainkan telah menjadi persoalan kepentingan politik yang saling bertarung, jalan untuk publik (manusia) atau jalan untuk bisnis (kendaraan). Namun bagi kekuatan industri, jalan harus menjadi komoditas menguntungkan, sehingga jalan untuk kendaraan adalah pilihan.
Gagasan inilah yang akhirnya menang dan menjadi mainstream dalam wacana transportasi saat ini. Salah satu pelaksana dari pola pikir jalan untuk kendaraan ini adalah pemerintah. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan kemacetan dan polusi adalah persoalan jalan sempit yang mengakibatkan laju kendaraan sangat lambat, sehingga polusi dari kendaraan semakin banyak. Maka, pelebaran atau pembangunan jalan baru adalah kebijakan yang paling tepat. Hal inilah yang dari dulu dilakukan oleh pemerintah pusat, yang sekarang didelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Konsistensi terhadap konsep “jalan untuk kendaraan”, sebenarnya dapat juga dikatakan bahwa pemerintah daerah telah menjadi tangan panjang dari kekuasaan industri yang hanya memikirkan keuntungan semata.
Perumusan Kebijakan yang “Otoriter”
Seharusnya dalam konteks otornomi daerah, pemerintah harus berinisiatif untuk membangun transportasi yang berkelanjutan sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah terhadap public service. Pembangunan proyek ini tentunya harus diawali dengan konsep yang jelas (berkelanjutan). Paling tidak jika selama ini pemerintah berangkat dari konsep “jalan untuk kendaraan” dalam menyusun kebijakan transportasi, pemerintah harus mengembalikan konsep tersebut menjadi “jalan untuk manusia”.
Namun, usaha ini akan mengalami kegagalan dalam pencapaian tujuan jika melihat persoalan yang ada didepan mata kita. Beberapa persoalan yang mungkin bisa menjadi kendala dan hambatan untuk mewujudkan tujuan otonomi ini antara lain ketidakmampuan pemerintah daerah, tidak adanya prosedur yang jelas, dan proses politik yang “otoriter” dalam pembuatan kebijakan
Di Jawa Timur, dua kendala pertama diatas mungkin tidak terlalu merisaukan. Justru kendala ketiga yang selama ini menjadi persoalan pemerintah kita. Selama ini seluruh wilayah Jawa Timur, proses pembuatan kebijakan transportasinya dimulai dari sebuah lembaga yang bernama Badan Transportsi Daerah (BPTD) sebagai sebuah lembaga “think-tank” yang bersifat rekomendatif. Dalam banyak kasus, rekomendasi ini mengikat bagi kepala pemerintah, sehingga menjadi sebuah keputusan. Dus, dari lembaga inilah kebijakan transportasi bermuara, sehingga dapat dikatakan BPTD sangat “powerfull” dalam urusan transportasi.
Dalam konteks proses perumusan kebijakan sendiri ada dua isu yang relevan dibahas. Pertama, apakah pihak-pihak yang menjadi sasaran (target group) dari kebijakan tersebut sudah dilibatkan dan digali aspirasinya (transparency and participation principle). Kedua, apakah orang-orang yang merumuskan isi kebijakan tersebut mempunyai keterampilan dan kepekaan publik yang cukup untuk merumuskan sebuah kebijakan transportasi.
Dalam proses perumusan kebijakan transportasi di Jatim, pihak-pihak yang menjadi target group dari kebijakan tersebut dipastikan tidak dilibatkan dan digali aspirasinya. Kenapa? Karena dalam komposisi BPTD Jatim, sebagian besar anggotanya adalah lembaga pemerintah, sedangkan kelompok diluar negara (penumpang, awak kendaraan, dsb) tidak disertakan. Selain itu, komposisi BPTD yang dominan negara ini tidak dapat meyakinkan kita bahwa mereka mempunyai keterampilan dan kepekaan publik yang cukup untuk merumuskan sebuah kebijakan transportasi yang berkelanjutan.
Hal berbeda misalnya dengan DKI Jakarta yang memiliki Dewan Transportasi Kota (DTK) yang fungsinya sama dengan BPTD, tetapi dibentuk melalui fit and proper test, sehingga kita dapat memastikan bahwa mereka memiliki modal keterampilan dan kepekaan terhadap transportasi berkelanjutan. Selain itu DTK dapat leluasa menggali aspirasi target group karena keanggotaan DTK terdiri dari akademisi, pakar transportasi, Dinas Perhubungan, Kepolisian, pengusaha angkutan, LSM yang bergerak dibidang transportasi, awak angkutan dan masyarakat pengguna jasa transportasi.
Model perumus kebijakan seperti DTK inilah yang sebenarnya diperlukan untuk memaksimalkan kesejahteraan semua pelaku transportasi di Jatim. Dengan demikian, adanya lembaga semacam DTK (misalnya saja bernama Dewan/Komisi Transportasi Daerah), akan memperteguh cita-cita kita memiliki sistem transportasi yang berkelanjutan dan mudah diakses. Sehingga, otonomi daerah tidak hanya pendistribusian proyek pembangunan, tetapi juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan transportasi yang berkelanjutan, mudah diakses, memiliki akuntabilitas dan transparan.
Read More..