Wednesday, January 17, 2007

HIV/AIDS BUKAN SEKEDAR PERSOALAN KESEHATAN

HIV/AIDS BUKAN SEKEDAR PERSOALAN KESEHATAN
Oleh: E. Musyadad
Bekerja pada sebuah ornop di Jombang
SUMBER: KOMPAS JATIM 1 DESEMBER 2006

LUAR BIASA. Di Jawa Timur, lebih 3 juta orang beresiko HIV/AIDS (Humman Immonudefisiensy Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome). Demikian judul sebuah berita di media ini setahun yang lalu (Kompas Edisi Jatim 21/02/05). Data angka setahun yang lalu ini tentunya sudah bertambah, sehingga membuat kita terbelalak tentang ancaman nyata di sekitar kita. Angka yang cukup memberi warning bagi siapa saja untuk segera membuat langkah-langkah pencegahan maupun penangkalannya.

Namun, sering kali kita melupakan bahwa dalam kasus HIV/AIDS, sebenarnya juga menyimpan virus yang lebih jahat dan sudah tumbuh berkembang dalam pikiran masyarakat kita, yakni prasangka, stereotip, dan praktik diskriminasi. Memang setiap warga negara berhak diperlakukan sama tanpa diskriminasi, tetapi hak ini tidak berlaku bagi kelompok yang beresiko maupun yang sudah menderita HIV/AIDS. Mereka diperlakukan secara berbeda dan penuh prasangka serta stereotipikasi. Sehingga, apabila ada lebih dari 3 juta orang beresiko HIV/AIDS, maka lebih dari jumlah populasi itulah pelanggaran hak asasi manusia rentan terjadi di Jawa Timur.
***
Selama ini HIV/AIDS dianggap penyakit kutukan bagi manusia berdosa dan tidak bisa disembuhkan oleh obat apapun yang biasanya diidap oleh orang homo/heteroseksual, pekerja seks. Kalimat ini mungkin sangat prestisius, memvonis dan tidak memberi ampun bagi HIV/AIDS, tetapi inilah kesadaran yang hidup di masyarakat kita yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Penyakit ini dianggap sebagai sebuah bencana bagi seluruh peradaban saat ini, sehingga siapapun yang mengidap HIV/AIDS harus disingkirkan (eliminasi), diperlakukan berbeda (diskriminasi), dan dicap (stigmatisasi) sebagai biang kerok. Kenapa isu HIV/AIDS telah bergerak menyekat kesadaran masyarakat kita?
Hal ini tidak lain karena dalam isu HIV/AIDS telah muncul prasangka dan stereotip dalam menyikapi HIV/AIDS. Prasangka dan stereotip tumbuh dalam masyarakat kita yang disebabkan tidak adanya informasi yang lengkap. Sehingga, masyarakat sering kali mencari-cari informasi dari sumber manapun tanpa tahu validitas informasi tersebut. Akhirnya, HIV/AIDS menjadi sebuah cerita mitologi tentang sebuah jimat yang luar biasa sakti dalam arti negatif.
Bagaimana prasangka dan stereotip yang berlaku dalam penyakit HIV/AIDS ini? Prasangka (prejudice) sebagai mana dikatakan Baron dan Bryne adalah sikap yang biasanya negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok diluar mereka. Sehingga, seseorang yang berprasangka kepada kelompok tertentu akan menilai berdasarkan sikap dan perilaku anggota kelompok itu, bukan dari dirinya. Biasanya, sikap benci dan sinis akan muncul dalam melihat kelompok yang diprasangkai ini.
Dari definisi prasangka sebagai sebuah sikap, muncul dua implikasi yang membuntutinya. Pertama, sikap sering berfungi sebagai skema/kerangka kognitif yang digunakan untuk mengorganisasi dan menginterpretasi informasi. Artinya, informasi yang konsisten dengan prasangkanyalah yang akan menarik perhatian mereka, sehingga fakta dilihat dari satu sudut dalam dirinya. Kedua, jika prasangka merupakan sebuah sikap, maka prasangka itu mungkin melibatkan lebih dari sekedar evaluasi negatif terhadap kelompok yang diprasangkai, sehingga perasaan emosional yang negatif dari kelompok yang berprasangka juga terbawa-bawa.
Merujuk pada definisi tersebut, dalam isu HIV/AIDS, prasangka dapat berbentuk beraneka ragam. Misalnya, adanya prasangka bahwa pengidap HIV/AIDS adalah pelaku dosa yang melanggar peraturan-peraturan agama. Salah satunya profesi pekerja seks komersil (PSK), kelompok gay dan lesbian sering dianggap sebagai biang kerok peningkatan angka HIV/AIDS. Padahal sebagaimana data yang ada saat ini tidak hanya PSK, gay atau lesbian yang dapat terkena HIV/AIDS, melainkan orang baik/tak berdosa (bayi, anak, dewasa, lanjut usia, laki-laki, perempuan, yang beragama, tidak beragama, suku apa saja, termasuk saya dan anda) juga dapat terkena HIV/AIDS. Karena, cara penularan HIV/AIDS tidak hanya melalui hubungan seksual, tetapi juga bisa melalui jarum suntik, transfusi darah, ibu hamil, dll.
***
Bagaimana dengan stereotip? Stereotip adalah penjelasan yang paling psikologis dari prasangka. Artinya, ketika berbicara stereotip sebenarnya kita berbicara tentang salah satu mekanisme yang alamiah dalam otak manusia. Stereotip muncul karena ada proses informasi yang bias dalam otak kita yang disebabkan oleh kebutuhan untuk menyederhanakan situasi yang kompleks ini. Dalam menggambarkan sesuatu, otak kita lebih memilih hal-hal yang sederhana dari pada berpikitr kompleks, lambat dan melelahkan.
Simplifikasi ini termasuk menyederhanakan sesuatu yang rumit dalam definisi-definisi tertentu tentang HIV/AIDS. Dalam sebuah tulisan pakar komunikasi Walter Lippmann dikatakan:“we do not first see, and then define, we difine first and then see”. Padahal melihat saja kita kadang tidak jujur seperti yang dikatakan Lippmann bahwa “the fact we see depend on where we placed, and the habits of our eyes”. Singkatnya, dalam kasus HIV/AIDS kita sering mendefinisikan (memvonis dalam kata-kata) sebelum melihat dan mengetahui lebih dalam.
Bagaimana proses prasangka tentang HIV/AIDS sendiri? Ada tahapan yang harus dilewati mulai dari kesadaran bahwa “mereka berbeda”, meningkat ke “mereka menyimpang”, dan puncaknya persepsi “mereka mengancam”. Orang yang “sok baik” tentu akan melihat bahwa kelompok diluar sana sebagai kelompok yang jahat penuh dosa. Atau orang yang sehat, menganggap penderita HIV/AIDS adalah orang sakit. Pada titik tertentu, mereka akan mengatakan bahwa mereka yang menderita HIV/AIDS telah melakukan bentuk penyimpangan dan pelanggaran norma dan nilai serta aturan agama. Misalnya, penggunaan narkoba, berganti pasangan, dll. Jika dari dua sikap tersebut tidak mampu membuat perubahan, proses terakhir adalah mereka yang menderita HIV/AIDS dianggap sebagai bentuk ancaman bagi kelangsungan hidup.
Proses ini bisa tidak hanya terjadi dalam pola pikir saja, melainkan bisa juga dalam praktek perilaku. Yang terakhir inilah yang sering dikatakan dengan diskriminasi. Sering kali penderita HIV/AIDS diperlakukan berbeda karena masyarakat berpikir akan menulari lingkungannnya. Misalnya, dalam keluarga mereka harus makan dengan piring, sendok dan gelas khusus, di desanya mereka tidak boleh menyentuh barang-barang yang banyak digunakan orang banyak, dan sebaginya. Hal ini memposisikan penderita HIV/AIDS semakin merasa beda, yang seharusnya mendapat dukungan lingkungannya untuk terus berjuang hidup.
Lebih jauh, penderita HIV/AIDS akan semakin parah dengan penyakit sosial prasangka dan stereotip dalam segala hal yang berhubungan dengan hidupnya. Dengan adanya prasangka dan stereotip, penderita HIV/AIDS akan semakin menderita dan menyembunyikan diri. Dalam berperang melawan HIV/AIDS sebagai penyakit medis, kita juga harus menyembuhkan masyarakat kita yang terkena penyakit sosial tersebut. Tanpa mempersempit kerja prasangka dan stereotip, penanggulangan HIV/AIDS tidak akan pernah berhasil, justru akan memperbesar potensi penyebarannya.
Maka, sudah sepatutnya kita juga mengingat virus sosial ini dalam pencegahan maupun penanggulangan HIV/AIDS ini. Karena kalau virus sosial ini juga tidak menjadi key problem dalam persoalan HIV/AIDS, angka 3 juta orang yang beresiko HIV/AIDS itu akan menjadi korban (victims) sekaligus menjadi tersangkanya (suspects). Tentunya, kalau ini terjadi sangat ironis bagi penanganan isu HIV/AIDS sebagai persoalan kemanusiaan. Singkatnya, perlu ada perhatian juga bahwa HIV/AIDS bukan hanya virus, melainkan juga politik.
Read More..