Sunday, August 13, 2006

MONOKULTURISASI PERTANIAN DAN REZIM PATEN BENIH

MONOKULTURISASI PERTANIAN DAN REZIM PATEN BENIH
Oleh: E. Musyadad
Penulis adalah Staff Divisi Advokasi Yayasan Madani Jombang
Kompas Jatim, 7 April 2005

DI Nganjuk Jawa Timur bulan Maret 2005 lalu, muncul kasus hukum yang melibatkan petani dan pihak perusahaan pembenihan jagung. Perusahaan pembenihan itu mengklaim bahwa petani tersebut mengelola, meneliti, dan menanam serta menjual benih jenis jagung yang hak patennya mereka miliki. Persoalan inilah yang diangkat ke meja hijau dengan alasan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Akhirnya, petani tersebut diancam tidak boleh menanam jagung dan denda berupa uang. Persoalan ini menarik karena merupakan kasus pertama kali yang terjadi di Jatim yang berhubungan dengan HaKI dan dunia pertanian.


Melihat kasus ini, saya teringat dengan apa yang menimpa Percy Schmeiser, petani kanola (bahan minyak goreng) di Kanada pada tahun 1997. Saat itu, pengawas Monsanto (perusahaan benih dan pestisida) masuk ke ladang Percy tanpa izin, dan mengambil tanaman kanola untuk diteliti di laboratoriumnya. Hasilnya, kanola-kanola tersebut mengandung gen rekayasa yang tahan herbisida yang selama ini diproduksi oleh Monsanto.
Monsanto menuduh Percy telah mencuri produknya tanpa izin, sehingga Monsanto menuntutnya dengan tuduhan menanam kanola transgenik tanpa membayar biaya teknologi. Tentu saja petani tersebut marah, karena selama ini dia tidak pernah menanam benih transgenik. Setelah ditelusuri, ternyata transgenik yang tumbuh di ladang Percy terjadi karena proses penyerbukan oleh angin. Karena di wilayah tempat tinggal Percy, memang hampir seluruhnya petani kanola kanola menanam transgenik.
Pada 21 Mei 2004 lalu, Mahkamah Agung Kanada menetapkan Percy bersalah karena melanggar hak paten, sehingga Percy harus membayar denda sebesar USS 140,000 untuk biaya teknologi. Keputusan ini berarti memperluas hak paten Monsanto bukan hanya pada benih yang direkayasa secara genetik, melainkan juga diperluas hingga pada organisme hidup tempat gen itu mendekam sengaja atau tidak sengaja.
Kasus semacam ini sangat mungkin terjadi di tahun-tahun mendatang karena ada tren dalam dunia pertanian yang bergerak ke arah monopoli benih. Dalam beberapa tahun terahir, perusahaan benih giat melakukan kampanye langsung ke petani tentang keunggulan benih yang mereka miliki. Bahkan, mereka menjalin kerja sama dengan petani untuk menanam dan akan membeli hasil panennya.
Dalam prakteknya, sosialisasi ini difasilitasi oleh pemerintah daerah, dinas pemerintah, karena wacana pemerintahpun sama (dikendalikan) dengan perusahaan benih yang saat ini bergerak di petani. Bahwa keterpurukan petani saat ini karena mereka tidak dapat memilih benih yang tepat (unggul), selain itu karena areal penanaman yang terlalu luas, yang mengakibatkan over produksi. Maka, perlu ada pengalihan jenis tanaman serta mendapat akses benih yang unggul.
Gagasan semacam ini sangat kuat di beberapa daerah, semacam Jombang, Lamongan, Mojokerto, Nganjuk, Kediri, Tulungagung dan Malang serta daerah lain di Jawa Timur. Pemerintah dalam beberapa kasus di Jombang misalnya, mempresentasikan pentingnya mengubah jenis tanaman agar petani tidak terus merugi. Saat ini, benih tanaman yang gencar ditawarkan kepada petani adalah jagung unggul. Pemerintah biasanya mengundang pembicara dari pihak perusahaan pembenihan jagung yang selama ini memang concern pada pembenihan jagung.
Dalam aras ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat membuat banyak perusahaan nasional dan multinational melakukan langkah-langkah inovatif dalam memberikan solusi kepada masyarakat dalam mencapai pertanian yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Apalagi, selama ini Indonesia belum dapat keluar dari kemelut kurangnya produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industrinya sendiri. Maka, perusahaan nasional dan multinational menawarkan produk benih unggulnya sebagai jawaban atas tantangan swasembada pangan tersebut dengan menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Akhirnya, pemikiran ekonomis dari perusahaan-perusahaan pembenihan tersebut “nyambung” dengan gagasan pemerintah yang ingin mengangkat derajat petani. Namun, sikap pemerintah ini terlihat sangat naif karena tidak melihat dampak yang akan muncul dalam jangka panjang. Kenapa? Karena, “mimpi’ tentang hasil yang besar dari benih produk unggul ini akan menyingkirkan benih lokal yang selama ini akrab dengan petani. Sedangkan benih baru sudah dimiliki oleh perusahaan pembenihan, sehingga petani harus membeli jika ingin menanam.
Rezim Paten
Jika hal ini terjadi, petani sudah terperangkap dalam jurang ketergantungan terhadap benih-benih yang dikelola oleh perusahaan. Artinya, tidak lagi mandiri dalam menanam. Parahnya, benih-benih produk perusahaan ini selain sudah dipatenkan, biasanya tidak bisa ditanam untuk terus menerus. Dalam beberapa kali panen, hasilnya sudah tidak bisa lagi dibenihkan, bahkan ada yang sekali saja tanam langsung “mati” yang disebut benih terminator (patennya kini dimiliki Monsanto). Sehingga, petani tidak dapat lagi menanam kecuali harus membeli benih. Padahal di negara kita, petaninya adalah miskin yang hidupnya subsisten sehingga mereka tak mampu membeli benih tanaman yang baik (karena baik pasti harganya mahal).
Maka, paten yang identik dengan monopoli manfaat secara legal itu akan meminggirkan petani itu sendiri nantinya. Pada titik ini, otonomi daerah sudah merupakan wacana strategi untuk membuka jalan tol bagi kontrol monopolistis dan ini menandakan arah keberlanjutan paradigma monokulturisasi. Singkatnya, kontrol terhadap petani melalui sistem monopoli benih sedang bergulir.
Dalam argumentasi baik yang pro maupun kontra terhadap skenario pertanian kita ini, jelas terasakan betapa kekuatan perusahaan lintas-negara (TNC) sudah sangat mampu mengendalikan sistem pertahanan kita. Misalnya, pada pada tahun 1999, telah terjadi uji coba lapangan tanaman transgenik di Indonesia. Masyarakat tidak tahu kemana arah teknologi transgenik ini, karena terkesan ditutup-tutupi. Sedikit pihak yang mengetahui bahwa PT Monagro Kimia (anak perusahaan Monsanto) telah melakukan uji coba lapangan untuk jagung Bt di Jombang, Malang, dan Sulawesi Selatan (Berita Bumi, Oktober 1999). Tanaman perkebunan lain yang diuji adalah tebu Bt di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan. Sebuah upaya menciptakan varietas tebu transgenik yang tahan terhadap hama penggerek batang, walaupun masih belum berhasil (Kompas, 8 Agustus 2000).
Artinya, petani selama ini kecolongan dengan gaya perusahaan pembenihan yang bermulut manis, dimana mereka mengembangkan produk ungggul untuk memberdayakan para petani. Padahal hanya ingin menjual sekaligus menguasai pertanian melalui produk benih unggul dalam skenario rezim patennya. Ironisnya, pemerintah sudah terkena rayuan ini, sehingga justru berperan sebagai fasilitator di lapangan.
Maka, diprediksikan kondisi petani akan semakin terpuruk di masa depannnya, bahkan tidak mustahil, nantinya akan berujung di balik terali penjara, jika rezim paten semakin kuat. Penggunaan suatu produk teknologi maju termasuk bioteknologi dalam rangkaian rezim paten harus disikapi dengan kritis. Salah satunya dengan pembuatan suatu produk hukum yang bersifat legal. Selama ini, Indonesia terkesan lambat dalam membuat Undang-Undang Keamanan Hayati.
Selain itu, menurut Mardiana (2000), seharusnya pemerintah dapat mengadakan dailog vertikal dan horizontal untuk mengambil keputusan tentang arah kebijakan pengawasan riset, uji coba, pelepasan, penggunaan dan monitoring produk transgenik dan benih unggul lainnya. Langkah lain yang harus dilakukan sekarang adalah mengadakan moratorium atas impor, penjualan dan pelepasan makanan dan produk transgenik hingga ada peraturan yang jelas dan ada bukti keamanannya. Hal lain yang dapat dilakukan adalah memberlakukan sistem label serta menyusun data base produk dan uji coba produk transgenik yang ada di Indonesia dan menyebarkan informasi tersebut ke publik.
Agenda inilah yang saat ini mungkin dilakukan untuk membatasi gejala monokulturisasi pertanian dengan pematenan benih yang akan ditanam petani kita. Karena dengan semakin memfasilitasi perusahaan swasta masuk ke wilayah pertanian, tanpa kita siapkan alat proteksinya, pemerintah sebenarnya telah membuat lubang kubur bagi masa depan petani. Akhirnya, petani hanya sekedar menjadi buruh yang menanamkan benih perusahaan, tidak menjadi raja lagi atas nasibnya.

No comments: