Kompas Jatim, Senin, 9 Februari, 2004
Persoalan Air dan Potensi Konflik di Jatim
Oleh : Edy Musyadad
Air adalah berkah sekaligus bencana. Jika kekurangan atau kelebihan, air menjadi bencana yang berujung kematian. Air yang secara hakiki merupakan hak semua orang, tetapi saat ini hanya sebatas mitos karena sebagian masyarakat Jawa Timur saat ini kesulitan air. Namun, disisi lain juga kelebihan yang mengakibatkan kerugian. Maka, dengan kata lain persoalan air di Jatim masih sangat keruh dan berpotensi untuk menimbulkan konflik dan persoalan buntutan lainnya.
Fenomena kesulitan air tersebut dapat dibaca dalam beberapa hari yang lalu di media massa. Di Kabupaten Magetan, masyarakat kesulitan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) melanda 4.000 pelanggan yang tersebar di tiga kecamatan. Hal ini bermula dari menurun debit air dari 120 liter/detik menjadi 90 liter/detik. Kegelisahan masyarakat Magetan memuncak menjadi krisis kepercayaan publik terhadap instansi terkait, sehingga pelanggan menggelar aksi boikot membayar tagihannya.
Lain di Magetan lain juga di Kota Batu. Wilayah yang secara geografis menyedikan sumber air melimpah, justru sebagian masyarakatnya masih ada yang belum mendapat pelayanan publik dalam sektor air. Paling tidak penulis sendiri saat ini menikmati kucuran air hanya pada malam hari, karena air di Kota Batu seperti ronda malam yang harus digilir keliling kampung. Hal ini diperparah dengan amukan alam yang merusak pipa-pipa distribusi PDAM Kota Batu --yang mengancam 4000 pelanggannya belum termasuk pelanggan wilayah Kota Malang-- beberapa hari yang lalu (Kompas, 05/02/04).
Realitas ini memberi gambaran bahwa persoalan kesulitan air di Jatim tidak hanya dihadapi oleh daerah yang kering, tetapi juga daerah yang terkenal memiliki sumber air seperti Kota Batu. Maka, tidak ada kalimat yang pas untuk menggambarkan faktualisasi air di Jatim selain sebuah ironi parah dimana daerah basah sekalipun ada warganya yang tidak mampu menikmati pelayanan publik berupa air yang menjadi kebutuhan vital.
Bagaimana dengan wilayah yang tidak memiliki sumber air yang masuk dalam daerah kering di Jatim? Tentu, kondisinya jauh lebih parah dalam mendapat akses kebutuhan air. Di Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya seperti yang diberitakan beberapa media, kualitas air PDAM sangat buruk. Maka, melihat persoalan kesulitan air di beberapa daerah di Jatim, persoalannnya tidak hanya sebatas kuantitasnya yang menurun akibat alam tetapi juga kualitas air yang buruk telah menjadi persoalan umum pelanggan air di Jatim.
***
Bila melihat samudera luas dan air melimpah, sepintas peringatan krisis air ini tampak mengada-ada. Bahkan, secara kuantitas, planet bumi juga dijuluki planet air. Sebab, hampir duapertiga bagian permukaan dan perut bumi ditutupi air. Jumlah total air di bumi sekitar 1,4 milyar km3. Namun, sebagian besar yakni sekitar 97,25 persennya berupa air laut dan hanya 2,75 persen berupa air tawar. Sedangkan sebagian besar air tawar itu berbentuk es dan salju (kira-kira 77,3 persen); sebanyak 22,4 persen berupa air dalam tanah; 0,35 persen ada di danau/rawa; 0,04 persen berupa uap air di atmosfer; dan 0,01 persen berupa air sungai.
Dari sekian klasifikasi air tersebut, jumlah air yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebenarnya sangat sedikit, yakni tidak lebih dari 0,05 persen. Jadi, dapat dibayangkan betapa terbatasnya jumlah air yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Maka, dari persediaan air saja sebenarnya potensi konflik menyangkut air sudah nyata. Belum lagi masalah air yang "berkurang" yang diakibatkan oleh kerusakan hutan, pemanasan global, menipisnya daerah resapan, dan lain-lain. Kondisi air ini diperparah dengan pencemaran di sungai dan laut kita akibat kesalahan dalam memanfaatkan air. Sehingga, prediksi adanya ancaman krisis air yang akan memusnahkan peradaban bumi sangat mungkin terjadi kedepannya. Dan bukan kalimat yang bombastis dan dibesar-besarkan.
Ancaman ini tidak main-main karena konjungtur air dari tahun ke tahun semakin menunjukan data yang menaik tingkat kelangkaannya. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan Bank Dunia berkaitan dengan persoalan air sebagai berikut; Penduduk kota di Indonesia yang beruntung dapat menikmati air bersih baru 65 persen. Sementara di desa hanya 32 persen, dan secara nasional hanya 42 persen saja yang dapat menikmati air bersih. Ini berarti ada 100-an juta lebih penduduk Indonesia yang masih belum beruntung bisa menikmati air bersih. Suatu jumlah yang amat besar, sekaligus beban yang amat berat dipikul pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Secara geografis persoalan air tersebut sebagian besar menumpuk di Pulau Jawa dan provinsi Jawa Timur menempati urusan teratas, yaitu 36 kabupaten/kota dan 1.880 kelurahan/desa; yang disusul Jawa Tengah sebanyak 33 kabupaten/kota dan 1.140 kelurahan/desa; kemudian provinsi Jawa Barat, yaitu di 21 kabupaten/kota dan 835 kelurahan/desa. Maka dengan demikian, provinsi Jatim dapat dipastikan menjadi salah satu wilayah konflik menyangkut ketersediaan air ini.
Hal ini tidak aneh jika Jatim menyumbang krisis rangking pertama di Indonesia dengan melihat banyaknya kasus air yang tersebar di Jatim. Maka, dibutuhkan sebuah upaya yang “melebihi zaman”nya untuk dapat menuntaskan persoalan air ini. Upaya yang dilakukan oleh PDAM Kota Surabaya yang men-sweeping pencuri air sejak Desember tahun lalu hingga Januari ini --yang menyelamatkan Rp 9 Milyar atau sekitar tiga persen kebocoran air--patut kita beri dukungan. Namun, upaya ini belum cukup karena zaman yang telah bergerak ke dalam krisis yang mengakar sebagai akibat kelangkaan air. Maka harus ada upaya jangka panjang sebagai bagian strategy planning yang terstruktur dan holistis.
Paling tidak ada beberapa catatan untuk menanggulangi krisis ini. Pertama, merancang pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pengembalian keseimbangan lingkungan hidup. Penggundulan hutan di sekitar Kota Batu bulan lalu memberi bukti nyata dengan adanya bencana banjir dan longsor kemarin. Sehingga, mutlak diperukanan untuk menghijaukan kembali daerah-daerah rawan longsor, juga diharapkan menghijaukan wilayah perkotaan sebagai antisipasi udara buruk dan tanah serapan yang mulai hilang. Kedua, memutar anggapan bahwa air adalah sumber daya alam yang tak terbatas. Sehingga, air harus dikelola secara holistik dan efiesien. Ketiga, pembangunan dan pengelolaan air harus didasarkan pada pendekatan partisipatif. Hal ini untuk mengantisipasi air menjadi komoditi yang dimonopoli oleh kelompok tertentu.
Namun, usaha publik ini akan sia-sia jika tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah yang pro-air. Implementasi yang konsisten atas kebijakan pemerintah lebih efektif jika dikaitkan dengan pembangunan yang berbasis lingkungan, seperti penertiban penggunaan air tanah, pelestarian hutan/ penghijauan, pembangunan industri penjernihan air serta instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu, merehabilitasi waduk, membentuk manajemen pengelolaan air bersih yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik.
Kita hanya berharap, mudah-mudahan kesulitan air bersih yang menimpa daerah di Jatim dapat segera terpecahkan. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini belum mendapatkan pelayanan air bersih serta sanitasi yang memadai dapat hidup layak dan sehat.
*Pemerhati masalah lingkungan Universitas Muhammdiyah Malang
Mukena Bordir
-
*Mukena bordir*... saya khusus menulis tentang sesuatu yang berkaiatan
dengan mukena. Kenapa? Karena saat ini saya bergelut dengan sesuatu yang
berbeda. Sa...
11 years ago
No comments:
Post a Comment