Sunday, August 08, 2004

KEBIJAKAN TRANSPORTASI ALTERNATIF

Kompas Jatim, Senin, 28 Juni 2004

KEBIJAKAN TRANSPORTASI ALTERNATIF
Oleh : E. Musyadad

PEMERINTAH Provinsi Jawa Timur telah merencanakan pembangunan tol tengah Kota Surabaya sebagai upaya untuk mengurangi persoalan transportasi, yakni kemacetan. Kemacetan menang menjadi momok bagi masyarakat kota manapun, tidak terkecuali Surabaya yang memiliki mobilitas sosial yang tinggi dan dinamis. Secara ekologis, situasi kemacetan akan menghasilkan gas beracun semakin banyak dari kendaraan bermotor.

Selain itu, kemacetan telah membuang waktu sia-sia bagi masyarakat kota. Maka, pembangunan tol tengah merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mengurangi penyakit lalulintas ini. Namun, solusi dari problem transportasi tersebut memunculkan pertanyaan baru. Jika kemacetan berimbas terhadap kualitas lingkungan, kenapa solusi yang ditawarkan selalu dengan melebarkan jalan atau dengan membangun jalan tol? Memang, hal ini menjadi tren umum pembangunan kota yang lebih “memilih” memperluas dan membangun jalan-jalan untuk mengurangi kemacetan. Asumsi ekologisnya barangkali jika jalan lancar dan tidak macet, maka polusi udara dan efisiensi lingkungan dapat ditekan. Namun, asumsi ini patut dipertanyakan karena kemacetan juga dapat dimaknai munculnya gejala krisis transportasi di kota-kota besar. Di Surabaya, padatnya industri dan jumlah kendaraan yang beredar sudah sangat besar jumlahnya. Berdasarkan data Satlantas Polwiltabes Surabaya pada tahun 2002 jumlah kendaraan sebanyak 1.000.042 unit.Sedangkan data Dinas Perhubungan Kota Surabaya, jumlah kendaraan pribadi lebih besar dibanding angkutan umum, yakni mencapai 896.500 unit.Angka itu cukup menunjukkan banyaknya kendaraan pribadi berlalu-lalang di semua jalan; mulai dari jalan pemukiman sampai jalan arteri atau bahkan jalan tol. Maka, di Surabaya telah ada disparitas antara sistem sediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand) sarana transportasi massal. Artinya, ketersediaan angkutan umum di Surabaya saat ini dirasa sudah tidak mencukupi bagi kebutuhan mobilitas sosial.Masyarakat sendiri memiliki kecenderungan menggunakan mobil pribadi dikarenakan angkutan publik yang tersedia sangat tidak nyaman, dari yang kapasitasnya dipaksakan; tarif tidak sesuai dengan fasilitas sampai suasana yang tidak aman di bus maupun di tempat pemberhentian. Padahal kalau diperhatikan, penumpang kendaraan pribadi tidak terlalu banyak, maksimal tiga orang. Sementara luasan yang diperlukan untuk melaju kendaraan pribadi tidak kalah besar dengan angkutan umum. Walaupun luasan yang diperlukan tidak sebesar luasan bus antar kota atau bus kota, tetapi jika dilihat dari tingkat okupansinya kendaraan pribadi sangat boros. Artinya, luasan yang dibutuhkan kendaraan pribadi untuk melaju di jalan raya tidak sebanding dengan dengan penumpang yang ada di dalamnya. Hal ini tentunya merugikan secara ekologis, efisiensi waktu bagi pengendara lain, munculnya perbedaan sosial yang mencolok, dan implikasi lain.Melihat gambaran diatas, situasi Surabaya tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena krisis transportasi. Kenapa ? Selain disebabkan oleh adanya laju urbanisasi yang terlalu cepat dan ketidaksepadanan antara infrastruktur, pelayanan dan teknologi transportasi dengan kebutuhan bergerak penduduk Surabaya, krisis ini diperparah oleh kebijakan pembangunan transportasi yang menganakemaskan motorisasi dan memarjinalkan transportasi informal yang berbiaya rendah, tak bermesin. Motorisasi di jalan raya yang semakin memadat dengan mobil pribadi dan kendaran bermotor lainnya menjadi beban lingkungan Tujuan awal motorisasi untuk mengatasi kebutuhan mobilitas masyarakat justru kontaproduktif dengan tujuannya. Maka untuk membangun Surabaya dibutuhkan sebuah proyek jangka panjang. Bukannnya membuat kebijakan yang menyelesaikan masalah lama tetapi memunculkan masalah baru seperti memperluas jalan atau jalan tol. Kalaupun proyek jalan tol telah berjalan, paling tidak pemkot juga harus memikirkan solusi akibat dampak ekologis yang ditimbulkan. Maka, ada beberapa rekomendasi yang perlu dipelajari dalam menyelesaikan kausalitas kemacetan, lingkungan dan krisis transformasi. Pertama, menghidupkan kembali gerakan nonmotor; transportasi informal berbiaya rendah dan tak bermesin, misalnya becak. Banyak anggapan becak merupakan sebab kemacetan kota yang menghambat mobilitas masyarakat. Namun, tesis tersebut terbantah dengan motorisasi transportasi ternyata juga mengakibatkan kemacetan. Problemnya ternyata pada jumlah motor pribadi yang memadati jalan-jalan kota. Kedua, mencontoh di Athena, membatasi mobil pribadi yang boleh keluar beroperasi tiap hari. Misalnya, hari ini mobil yang keluar beroperasi dengan nomor plat ganjil, dan besok nomor plat genap. Intinya ada regulasi yang membatasi jumlah mobil yang ada di jalan raya. Regulasi ini bertujuan mengurangi kemacetan jalan, sekaligus menetralisasi ketimpangan sosial yang terjadi di jalan raya. Selain itu gerakan ini akan mampu “mengurangi” kemungkinan situasi ambang batas kadar bersih udara. Ketiga, mengembangkan trasportasi yang berbasis publik umum. Dalam hal ini bermakna membangun transportasi yang mampu menampung penumpang banyak. Syarat lain yang harus dimiliki transportasi ini adalah minimalnya human error dan memiliki ketaatan terhadap waktu. Dan jawaban yang lebih dekat adalah kereta api kota daripada bis kota. Kereta api relatif taat terhadap waktu dan memiliki human error yang minimal. Selain itu memiliki presentase pemasukan penumpang yang lebih banyak.Usaha pemerintah dengan mengopersikan KA komuter merupakan langkah maju. Adanya KA komuter merupakan pilihan yang mutlak dipenuhi oleh pemerintah dalam menyediakan sarana mobilitas masyarakat. Karena penyediaan angkutan publik yang baik dengan sendirinya akan menyelesaikan atau paling tidak mengurangi kerusakan ekologis, pengurangan jam yang terbuang sia-sia akibat macet kendaraan pribadi dan membangun semangat kebersamaan dalam budaya yang tidak timpang.Maka, kebijakan pembangunan transportasi yang berkelanjutan merupakan proyek alternatif untuk memenuhi kebutuhan mobilitas penduduk kota yang lebih luas. Dua cara pertama diatas merupakan alternatif kebijakan sederhana yang berbiaya rendah. Tetapi jika dilakukan situasi kota akan lebih “hijau”. Dan yang lebih penting bahwa pemerintah telah melindungi masyarakat kecil serta membuka akses luas bagi pelaku transportasi.Akhirnya, kebijakan alternatif tersebut berpulang kepada penguasa kota, karena usaha mewujudkan kota ekologis bagi Surabaya memang harus dilakukan oleh orang yang berkuasa dan memiliki otoritas kebijakan. Maka, jika toh kekuasaan tidak lagi berguna untuk menyelamatkan kesulitan masyarakat Surabaya, paling tidak beberapa syarat menuju kota ekologis tersebut pernah terlintas dibenak kita. Karena membayangkan bernafas dengan udara sehat dan lalu lintas yang teratur tanpa kemacetan rasanya lebih baik. Daripada melintasi jalan tol yang padat atau jalan umum yang macet seperti Surabaya kini.

Peneliti Transportasi Kota Jombang untuk Yayasan Madani
Read More..

NU-PKB DALAM GELIAT POLITIK JATIM

Kompas Jatim, Jumat 25 Juli 2003
NU-PKB DALAM GELIAT POLITIK JATIM
Oleh : M. Hasyim dan E. Musyadad *

TIDAK dapat dipungkiri bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan anak kandung yang dilahirklan dari tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga hubungan ini dapat dikatakan sebagai relasi politik yang “genetikal” antara NU dengan PKB, NU sebagai bapak dan PKB adalah anaknya. Namun, ditengah percaturan politik yang dinamis ini seringkali bapak dan anak sering beda pendapat dan berjalan berseberangan yang tentunya memunculkan keretakan hubungan.


Realitas ini terakhir kali muncul di Jatim dalam menyikapi pemilihan gubernur beberapa hari yang lalu. Keretakan hubungan tersebut berawal dari keinginan sebagian tokoh NU Jatim mendukung pasangan Imam Utomo-Soenarjo, sedangkan PKB “ngotot” mencalonkan pasangan Abdul Kahfi Bakri-Ridwan Hasjim. Perbedaan aspirasi ini semakin mengerucut menjadi fragmentatif setelah adanya dukungan PKB Jakarta terhadap keputusan PKB Jatim. Pasca hirup pikuk politik di DPRD yang berakhir dengan kemenangan pasangan Imam-Soenarjo, bukan berarti persoalan ini selesai damai; sebaliknya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan relasi politik “genetikal” antara NU-PKB semakin menemukan konteksnya. Hal ini dapat kita lihat dari polemik ketidakloyalan anggota dewan dari F-KB terhadap kebijakan partai. Ada beberapa alasan yang dapat dibaca dari ketidakpatuhan politik anggota F-KB ini. Pertama, memang benar pemilihan gubernur kemarin telah menjadi ajang politik uang yang selama ini santer terdengar di telinga publik. Dan salah satunya, mungkin berkaitan dengan pembelotan anggota F-KB dalam memenangkan jagonya, Kahfi-Ridwan. Kedua, ketidakpatuhan ini berangkat dari murni kekecewaan anggota dewan yang memiliki aspirasi tersendiri terhadap PKB Jakarta yang “memaksa” untuk mengamankan cagub-nya. Ketiga, alasan kedua tersebut semakin relevan jika melihat aspirasi beberapa tokoh NU di Jatim yang mendukung Imam-Soenarjo. Singkatnya, memilih Imam-Soenarjo merupakan implikasi tanggungjawabnya sebagai anak yang baik dari NU.Maka, tidak dapat disangkal lagi jika relasi politik “genetikal” NU-PKB ini semakin menemukan alasan untuk mempertanyakan lagi konsep lama bahwa PKB adalah anak kandung NU. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PKB memiliki hutang historis terhadap NU. Tanpa NU, PKB tidak akan menjadi sebuah kekuatan politik yang diperhitungkan seperti sekarang. Sedangkan bagi NU, PKB merupakan wadah aspirasi politik yang dapat memposisikan NU sebagai organisasi berpengaruh dimata umat maupun dihadapan negara. Sehingga NU memiliki kepentingan ideologis dalam eksistensi PKB selain memperjuangkan aspirasi kaum nahdliyyin tentunya. Relasi historis dan ideologis yang menurut Ali Maschan Moesa menjadi saluran aspirasi ini pada satu titik menjadi hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme, keduanya diuntungkan. Namun, pada satu titik hubungan yang demikian akan menjadi hubungan organis yang dapat berubah kapan saja. Relasi yang yang demikianlah yang menyebabkan relasi politik “genetikal” NU-PKB tidak efektif ketika dibutuhkan sebuah keselarasan suara. Hal ini dengan jelas terjadi beberapa hari yang lalu dalam pemilihan gubernur Jatim dimana suara bapaknya (beberapa tokoh NU) ditolak anaknya (PKB). Ketidakpatuhan anak terhadap pendapat bapaknya dalam konteks geopolitik Jatim akan memberi gambaran yang cukup signifikan kedepannya. Sehingga, pola hubungan yang sekarang sedang “tidak baik” ini menjadi catatan yang menarik jika dilihat dalam konteks hubungan “genetikal” politik PKB-NU yang sama-sama memiliki tanggungan moral, menyuarakan umatnya, khususnya di Jatim.Potensi menyuarakan umat di Jatim bagi NU-PKB merupakan hal yang kongkrit jiika dikaitkan dengan suara yang signifikan dalam kursi dewan maupun kultur masyarakatnya yang tradisionalis dan lekat dengan tradisi sarung. Suara yang tersebar dari total jumlah penduduk Jawa Timur yang sebanyak 34.899.236 jiwa (tahun 2000) di berbagai wilayah seluas 147.130,15 km2 ini memberi gambaran betapa potensialnya suara yang dapat dirangkul dalam relasi NU-PKB ini di Jatim. Potensi suara ini juga dapat kita lihat dalam peta politik nasional dalam era kepemimpinan Gus Dur kemarin, dimana Jatim menjadi andalan politik dalam menentukan berbagai macam kebijakan yang sifatnya penting dan menentukan. Maka, jika relasi politik “genetikal” NU-PKB tidak segera tata ulang tentu saja akan mengubah peta politik di Jatim, khususnya kepentingan nahdliyyin. Dalam mengacu pada kesepakatan Khitah 1926 Situbondo dan muktamar-muktamar yang telah diselenggarakan NU, ada dua poin yang sifatnya substantif dan baku. Pertama, bahwa NU memegang nilai dasar perjuangan yang mengedepankan tawasut, tawazun, iktidal dan tasamuh sebagai wujud keberagamaan yang pluralis dan moderat. Kedua, khitah merupakan konsep, sehingga memerlukan alat operasional yang sifatnya tidak mengikat dan fleksibel. Namun, alat tersebut tidak dapat keluar dari pemahaman bahwa NU tidak akan masuk kedalam medan politik praktis. Dari kedua poin tersebut, sebenarnya telah memberi jawaban tentang kelahiran PKB sebagai partai politik. NU yang berangkat dari pemahaman bahwa Islam adalah untuk semua manusia (rahmatan lil alamin), bekerja sebagai pejuang untuk mengayomi dan melindungi semua golongan. Bekerja untuk lingkaran yang pluralis, lintas sektor dan golongan. Dan peran ini tidak akan dapat dikerjakan dalam ranah politik praktis. Padahal umat nahliyyin sendiri merupakan fenomena yang majemuk dan beragam. Maka, untuk mengamankan posisi dan peran ini NU membutuhkan partai yang mampu memproteksi aspirasi ini. Dan dalam sejarahnya, pilihan itu akhirnya jatuh dengan melahirkan sendiri partai yang bernama PKB tersebut.Namun, melihat perang kuasa yang terjadi dalam relasi politik “genetikal” NU-PKB ini apa yang harus dilakukan oleh NU sekarang. Peran dan posisi yang tidak lagi menjanjikan dalam tubuh PKB sebagai alat operasionalisasi khitah 1926 menjadikan semakin pentingnya menata ulang relasi tersebut. Lebih penting lagi jika hal ini dikaitkan dengan warga nahdliyyin yang selama ini dibingungkan oleh relasi tersebut. Gaya kepemimpinan yang selama ini muncul dan telah menjadi kekhasan NU-PKB adalah patron klien dalam struktur maupun fungsi. Hal ini tidak menguntungkan bagi warga nahdliyyin yang menitipkan aspirasi sosial kepada NU disatu sisi dan disisi lain menjadikan PKB sebagai wadah politik. Karena dalam setiap momen penting yang menentukan masa depan, warga nahdliyyin selalu diam terhadap pemimpin walaupun ditinggalkan aspirasinya atau patuh untuk dilibatkan dalam perselisihan NU-PKB. Dus, disinilah sebenarnya nahliyyin tidak terlibat dan tidak berkepentingan dalam konflik seputar NU-PKB ini. Karena jika hal ini berlangsung terus menerus dan menjadi persoalan kronis, warga nahdliyyin-lah yang pada akhirnya dibebani. Maka, pentingnya untuk segera membangun relasi baru yang genetikal menjadi kultural. Artinya, sudah tidak patut lagi NU berkepentingan praktis terhadap politik. Justru peran yang jauh lebih substantif adalah bagaimana menjaga dan melindungi hak-hak nahdliyyin, golongan lintas sektor yang akan menjadi korban kekuasaan. Posisi oposan ini bukannya sebagai wujud ketidaksenangan atau kekecewaan, tetapi bentuk dari mewujudkan khittah 1926 di Situbondo tersebut, memproteksi apa yang menjadi hak rakyat tidak dilanggar oleh kekuasaan. Karena siapapun pemimpinnya, dapatkah menjamin harga gabah dan gula stabil, air tidak kering, memakmuran merata, pendidikan murah di Jatim. Tidak (!) Dan lagi-lagi kaum nahdliyyin dan warga Jatim-lah yang dirugikan.

Penulis adalah Direktur Lakpesdam Nu Jombang
Pemerhati masalah sosial UMM
Read More..

PEMILU TIDAK ADA ARTINYA BAGI NELAYAN?

Kompas Jatim, Rabu, 7 April 2004

PEMILU TIDAK ADA ARTINYA BAGI NELAYAN?
Oleh: E. Musyadad

SIAPAPUN sependapat, jika pemilihan umum (pemilu) 2004 merupakan perhelatan demokrasi yang sangat strategis bagi bangsa Indonesia. Sebagai titik balik perubahan peta politik, pemilu 2004 menyimpan banyak harapan dari banyak kalangan, mulai dari para mahasiswa, tokoh masyarakat sampai politikus sendiri. Harapan itu tentunya tidak jauh-jauh dari lahirnya pemerintahan legitimate yang lebih menghamba pada hukum dan aspiratif.


Kelompok lain yang lebih masif dan heterogen adalah masyarakat kecil yang relatif tidak berpendidikan berharap kebutuhan dan kepentingan rakyat umum dapat dipenuhi. Kelompok ini salah satunya adalah nelayan Jawa Timur (Jatim).Saat ini diperkirakan jumlah nelayan di kawasan Jatim kurang lebih tiga persen dari total penduduk Jatim sebanyak 34.899.236 jiwa (2000) tersebar di pantai utara dan selatan. Artinya jumlah nelayan di Jatim tersebut menyimpan suara yang besar bagi kepentingan Jatim dalam pemilu 2004 ini. Atau dalam bahasa partai politik (parpol), nelayan di Jatim merupakan massa konkrit dan berpotensi mendongkrak suara guna merebut kursi di legislatif.Fenomena ini merupakan gambaran realistis dimana nelayan menjadi bagian yang bisa “dimanfaatkan” untuk memenangkan pemilu. Lihat saja misalnya di kawasan nelayan, beraneka ragam bendera parpol berkibar diatas perahu-perahu nelayan. Tidak saja parpol yang berasas pancasila, tetapi juga banyak parpol yang berasas agama mengibarkan benderanya di kawasan nelayan. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah berkibarnya bendera parpol di kawasan nelayan, juga bentuk komitmen parpol mengibarkan pembelaannya untuk memperjuangkan nasib nelayan? Tunggu dulu.Karena sebelum membela tentu saja harus tahu apa yang menjadi persoalan. Nelayan Jatim yang tersebar di wilayah pantai utara maupun selatan, dibagi empat kategori yakni nelayan industri, nelayan tangkap, nelayan budidaya dan nelayan buruh industri. Dari empat kategori tersebut, hampir semuanya merupakan nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan secara harian (one day fishing). Hal ini menunjukkan nelayan Jatim menggantungkan hidup hari esok dengan tangkapan hari ini. Posisi nelayan yang demikian kemudian memaksa hadirnya tengkulak.Dalam proses ekonomi, memang tengkulak dapat dikatakan sebagai roda penggerak perekonomian desa-desa nelayan. Selain itu, tengkulak memiliki keunggulan dibandingkan bank-bank resmi pemerintah atau lembaga perkreditan lain yakni sifatnya yang informal dan fleksibel. Namun, posisi tengkulak ini menjadi gambaran adanya ekspolitasi nelayan yang tidak nampak. Kenapa ? Satu-satunya komoditas nelayan adalah ikan, padahal komoditas ikan ini sifatnya rentan waktu. Sehingga, mau tidak mau nelayan harus segera menjual dengan harga berapapun. Disinilah letak “bargaining” nelayan yang lemah dalam menjual harga ikan, sehingga mereka sadar atau tidak telah masuk dalam perangkap tengkulak. Dominasi tengkulak ini juga dikarenakan tidak berjalannya mekanisme tempat pelelangan ikan (TPI) sebagaimana mestinya.Persoalan lain yang sering dihadapi oleh nelayan adalah konflik antarnelayan Jatim yang sering memicu kekerasan. Sumber pokok konflik itu berupa masalah alat penangkap ikan dan perebutan wilayah penangkapan ikan. Alat penangkapan ikan yang menyulut masalah konflik antarnelayan adalah maraknya penggunaan trawl dan mini-trawl oleh sebagian nelayan yang dapat merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Disisi lain nelayan juga belum mengetahui tentang wilayah laut yang menjadi daerah penangkapan ikan tidak dapat dibatasi oleh koordinat.Pemberlakuan Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Daerah yang memberikan batasan daerah perairan --jarak hingga empat mil, kewenangan pemerintah daerah kota dan kabupaten; jarak empat mil sampai dua belas mil, kewenangan pemerintah provinsi; jarak lebih dari 12 mil, kewenangan pusat-- justru sering menjadi pemicu perebutana wilayah tangkapan ikan. UU ini dipahami nelayan sebagai batasan yang mengikat, sehingga nelayan dari wilayah lain di sebelahnya tidak boleh masuk ke wilayah mereka.Pola pikir nelayan Jatim ini terjadi bukan semata-mata kesalahan nelayan, tetapi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak mampu mensosialisasikan peraturan dengan maksimal. Sehingga, untuk meredam dan mengelola konflik tersebut ada baiknya pemeritah daerah membuat peraturan daerah sebagai bagian implementatif untuk mengelola sumber daya milik umum (common property) dengan memperhatikan kelestarian lingkungan serta rasa keadilan bagi nelayan kecil.Maka, dari beberapa catatan diatas menujukkan persoalan nelayan tidak semudah membaca kibaran bendera di kawasan pantai. Jika selama ini parpol gencar memberikan imbalan rupiah untuk nelayan yang mengibarkan benderanya, pertanyaan reflektif yang patut kita ajukan adalah tahukah parpol tentang persoalan yang mendera nelayan di Jatim. Karena gaya sinterklas yang dilakukan parpol dengan membagi-bagikan sembako dan imbalan-imbalan lain, justru telah memicu konflik horisontal yang telah tumbuh dalam komunitas nelayan sebelumnya.Sedangkan kalau kita simak, parpol yang ada di Jatim saat ini tidak ada yang memiliki program untuk nelayan yang signifikan dan teknis untuk mengangkat kesejahteraan nelayan. Parpol di Jatim hanya memberi arahan program yang disifatnya normatif bagi nelayan yang termaktub dalam tema usang seputar “meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil”. Tetapi, bagaimana dengan tengkulak, potensi konflik antar nelayan dan kepastian hukum?Melihat hal ini tentu saja sah jika mengatakan jika parpol hanya menjadikan nelayan sebagai mesin politik untuk mendongkrak suara. Tidak lebih tidak kurang. Dengan demikian apa yang harus dilakukan oleh nelayan kita? Mungkin ada baiknya jika menerima saran musisi Franky S, “terima saja uangnya, tetapi jangan pilih mereka”. Hari Selasa kemarin, sehari setelah hari pencoblosan, komunitas nelayan kita akan memperingati hari Nelayan Nasional (6 April) sebagai bagian dari upaya memperbaiki nasibnya kedepan.

Pemerhati sosial UMM
Read More..

Persoalan Air dan Potensi Konflik di Jatim

Kompas Jatim, Senin, 9 Februari, 2004

Persoalan Air dan Potensi Konflik di Jatim
Oleh : Edy Musyadad

Air adalah berkah sekaligus bencana. Jika kekurangan atau kelebihan, air menjadi bencana yang berujung kematian. Air yang secara hakiki merupakan hak semua orang, tetapi saat ini hanya sebatas mitos karena sebagian masyarakat Jawa Timur saat ini kesulitan air. Namun, disisi lain juga kelebihan yang mengakibatkan kerugian. Maka, dengan kata lain persoalan air di Jatim masih sangat keruh dan berpotensi untuk menimbulkan konflik dan persoalan buntutan lainnya.

Fenomena kesulitan air tersebut dapat dibaca dalam beberapa hari yang lalu di media massa. Di Kabupaten Magetan, masyarakat kesulitan air PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) melanda 4.000 pelanggan yang tersebar di tiga kecamatan. Hal ini bermula dari menurun debit air dari 120 liter/detik menjadi 90 liter/detik. Kegelisahan masyarakat Magetan memuncak menjadi krisis kepercayaan publik terhadap instansi terkait, sehingga pelanggan menggelar aksi boikot membayar tagihannya.
Lain di Magetan lain juga di Kota Batu. Wilayah yang secara geografis menyedikan sumber air melimpah, justru sebagian masyarakatnya masih ada yang belum mendapat pelayanan publik dalam sektor air. Paling tidak penulis sendiri saat ini menikmati kucuran air hanya pada malam hari, karena air di Kota Batu seperti ronda malam yang harus digilir keliling kampung. Hal ini diperparah dengan amukan alam yang merusak pipa-pipa distribusi PDAM Kota Batu --yang mengancam 4000 pelanggannya belum termasuk pelanggan wilayah Kota Malang-- beberapa hari yang lalu (Kompas, 05/02/04).
Realitas ini memberi gambaran bahwa persoalan kesulitan air di Jatim tidak hanya dihadapi oleh daerah yang kering, tetapi juga daerah yang terkenal memiliki sumber air seperti Kota Batu. Maka, tidak ada kalimat yang pas untuk menggambarkan faktualisasi air di Jatim selain sebuah ironi parah dimana daerah basah sekalipun ada warganya yang tidak mampu menikmati pelayanan publik berupa air yang menjadi kebutuhan vital.
Bagaimana dengan wilayah yang tidak memiliki sumber air yang masuk dalam daerah kering di Jatim? Tentu, kondisinya jauh lebih parah dalam mendapat akses kebutuhan air. Di Kabupaten Gresik dan Kota Surabaya seperti yang diberitakan beberapa media, kualitas air PDAM sangat buruk. Maka, melihat persoalan kesulitan air di beberapa daerah di Jatim, persoalannnya tidak hanya sebatas kuantitasnya yang menurun akibat alam tetapi juga kualitas air yang buruk telah menjadi persoalan umum pelanggan air di Jatim.
***
Bila melihat samudera luas dan air melimpah, sepintas peringatan krisis air ini tampak mengada-ada. Bahkan, secara kuantitas, planet bumi juga dijuluki planet air. Sebab, hampir duapertiga bagian permukaan dan perut bumi ditutupi air. Jumlah total air di bumi sekitar 1,4 milyar km3. Namun, sebagian besar yakni sekitar 97,25 persennya berupa air laut dan hanya 2,75 persen berupa air tawar. Sedangkan sebagian besar air tawar itu berbentuk es dan salju (kira-kira 77,3 persen); sebanyak 22,4 persen berupa air dalam tanah; 0,35 persen ada di danau/rawa; 0,04 persen berupa uap air di atmosfer; dan 0,01 persen berupa air sungai.
Dari sekian klasifikasi air tersebut, jumlah air yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebenarnya sangat sedikit, yakni tidak lebih dari 0,05 persen. Jadi, dapat dibayangkan betapa terbatasnya jumlah air yang bisa dimanfaatkan secara langsung untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Maka, dari persediaan air saja sebenarnya potensi konflik menyangkut air sudah nyata. Belum lagi masalah air yang "berkurang" yang diakibatkan oleh kerusakan hutan, pemanasan global, menipisnya daerah resapan, dan lain-lain. Kondisi air ini diperparah dengan pencemaran di sungai dan laut kita akibat kesalahan dalam memanfaatkan air. Sehingga, prediksi adanya ancaman krisis air yang akan memusnahkan peradaban bumi sangat mungkin terjadi kedepannya. Dan bukan kalimat yang bombastis dan dibesar-besarkan.
Ancaman ini tidak main-main karena konjungtur air dari tahun ke tahun semakin menunjukan data yang menaik tingkat kelangkaannya. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan Bank Dunia berkaitan dengan persoalan air sebagai berikut; Penduduk kota di Indonesia yang beruntung dapat menikmati air bersih baru 65 persen. Sementara di desa hanya 32 persen, dan secara nasional hanya 42 persen saja yang dapat menikmati air bersih. Ini berarti ada 100-an juta lebih penduduk Indonesia yang masih belum beruntung bisa menikmati air bersih. Suatu jumlah yang amat besar, sekaligus beban yang amat berat dipikul pemerintah untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Secara geografis persoalan air tersebut sebagian besar menumpuk di Pulau Jawa dan provinsi Jawa Timur menempati urusan teratas, yaitu 36 kabupaten/kota dan 1.880 kelurahan/desa; yang disusul Jawa Tengah sebanyak 33 kabupaten/kota dan 1.140 kelurahan/desa; kemudian provinsi Jawa Barat, yaitu di 21 kabupaten/kota dan 835 kelurahan/desa. Maka dengan demikian, provinsi Jatim dapat dipastikan menjadi salah satu wilayah konflik menyangkut ketersediaan air ini.
Hal ini tidak aneh jika Jatim menyumbang krisis rangking pertama di Indonesia dengan melihat banyaknya kasus air yang tersebar di Jatim. Maka, dibutuhkan sebuah upaya yang “melebihi zaman”nya untuk dapat menuntaskan persoalan air ini. Upaya yang dilakukan oleh PDAM Kota Surabaya yang men-sweeping pencuri air sejak Desember tahun lalu hingga Januari ini --yang menyelamatkan Rp 9 Milyar atau sekitar tiga persen kebocoran air--patut kita beri dukungan. Namun, upaya ini belum cukup karena zaman yang telah bergerak ke dalam krisis yang mengakar sebagai akibat kelangkaan air. Maka harus ada upaya jangka panjang sebagai bagian strategy planning yang terstruktur dan holistis.
Paling tidak ada beberapa catatan untuk menanggulangi krisis ini. Pertama, merancang pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada pengembalian keseimbangan lingkungan hidup. Penggundulan hutan di sekitar Kota Batu bulan lalu memberi bukti nyata dengan adanya bencana banjir dan longsor kemarin. Sehingga, mutlak diperukanan untuk menghijaukan kembali daerah-daerah rawan longsor, juga diharapkan menghijaukan wilayah perkotaan sebagai antisipasi udara buruk dan tanah serapan yang mulai hilang. Kedua, memutar anggapan bahwa air adalah sumber daya alam yang tak terbatas. Sehingga, air harus dikelola secara holistik dan efiesien. Ketiga, pembangunan dan pengelolaan air harus didasarkan pada pendekatan partisipatif. Hal ini untuk mengantisipasi air menjadi komoditi yang dimonopoli oleh kelompok tertentu.
Namun, usaha publik ini akan sia-sia jika tidak diikuti dengan kebijakan pemerintah yang pro-air. Implementasi yang konsisten atas kebijakan pemerintah lebih efektif jika dikaitkan dengan pembangunan yang berbasis lingkungan, seperti penertiban penggunaan air tanah, pelestarian hutan/ penghijauan, pembangunan industri penjernihan air serta instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu, merehabilitasi waduk, membentuk manajemen pengelolaan air bersih yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik.
Kita hanya berharap, mudah-mudahan kesulitan air bersih yang menimpa daerah di Jatim dapat segera terpecahkan. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini belum mendapatkan pelayanan air bersih serta sanitasi yang memadai dapat hidup layak dan sehat.
*Pemerhati masalah lingkungan Universitas Muhammdiyah Malang
Read More..

Monday, August 02, 2004

Kemerdekaan Pers Sedang Diuji di Jatim

Kompas, Senin, 8 Juli 2002

Kemerdekaan Pers Sedang Diuji di Jatim

"Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers" (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Pasal ke-19)

HAL tersebut tertuang dalam dokumen yang lazim dijadikan rujukan sebagai kesepakatan internasional mengenai perlindungan hak kebebasan berekspresi adalah Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia), yang disepakati PBB tahun 1948.

Dalam konteks perundangan-undangan kita, kebebasan berekspresi dipayungi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Payung hukum tersebut bertujuan untuk menegaskan bahwa kebebasan berekspresi (freedom of expression) adalah milik setiap manusia, milik rakyat, termasuk media massa. Dalam konteks ini, media dipercaya memiliki hak untuk menulis atau menyiarkan apa pun yang menurutnya baik.

Namun, kita menjadi pesimistis kalau melihat realitas dunia pers saat ini. Kebebasan berekspresi tidak lagi menjadi hak yang terlindungi, bahkan dirampas dengan cara kekerasan. Peristiwa kekerasan terhadap kuli tinta di Surabaya oleh aparat merupakan bukti konkret bahwa kebebasan berekspresi sedang diuji.

Kasus di Surabaya tersebut merupakan rangkaian panjang yang terus terjadi di dunia pers. Sepanjang periode tahun 1999 hingga Juni 2001, di Aceh tercatat 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan. Bahkan, satu orang korban di antaranya tewas. (Kompas, 6/7/2001)

Pada bulan Januari ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sedikitnya tiga kasus kekerasan oleh polisi yang menimpa wartawan di berbagai daerah. Sedangkan akhir bulan Mei sampai 1 Juli ini sedikitnya terjadi enam aksi kekerasan terhadap wartawan yang tiga di antaranya dilakukan oleh polisi. Kasus kekerasan terhadap wartawan terakhir kali terjadi di Surabaya dan di Sidoarjo yang salah satunya dilakukan oleh aparat polisi.

Dari data tersebut, tiga kasus terjadi di Jatim yakni di Kediri, Sidoarjo, dan Surabaya. Menariknya, dalam satu minggu terakhir delapan wartawan cedera (lima oleh aparat kepolisian) dan empat di antaranya terjadi di Jatim.

Deklarasi HAM dan UU Pers yang seharusnnya menjadi panduan penegakan hukum tidak berfungsi. Hal ini persis seperti apa yang digambarkan sastrawan kuno Inggris Shakespeare bahwa "hukum belum mati tetapi telah lama tidur". Peristiwa di Surabaya di mana wartawan menjadi korban kekerasan menunjukkan titik lemah penegakan hukum dan perlindungannnya terhadap kerja wartawan.

Ironisnya, yang melakukan tindak kekerasan ini adalah aparat kepolisian yang notabene adalah penegak hukum. Hal ini menunjukkan aparat Kepolisian RI (Polri) tidak menghargai profesi wartawan sekaligus dipertanyakan kapabilitasnya sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap penegakan hukum.

Kekerasan institusional

Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia Afnan Malay (Kompas, 29/1), tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian yang terjadi secara berulang-ulang dapat diartikan sebagai tindakan institusional yang dipedomani oleh aparat kepolisian. Selain itu, tindakan polisi yang melakukan pemukulan terhadap wartawan menandakan wartawan masih dianggap sebagai penghambat kerja-kerja polisional, dan polisi takut kalau tindakannya diketahui publik. Pemukulan juga memperlihatkan bahwa polisi tidak profesional, belum berubah dari paradigma lama yang represif, dan jika diberi kewenangan selalu memakai penyelesaian kekuasaan.

Pola represif yang dimainkan oleh kepolisian dalam menangani kasus tidak lepas dari struktur kebijakan polri yang masih memegang jalur komando dan ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekerasan.

Hal ini sekaligus merupakan cerminan kepolisian sebagai bagian dari sebuah rezim kekuasaan negara, yang menjauhkan diri dari kekuatan kontrol sipil. Relasi kuasa ini menggambarkan struktur "kekerasan". Itu akhirnya akan melahirkan model kerja yang menonjolkan kekerasan. Karena itu, tidak aneh jika rentetan kekerasan oleh aparat menimpa para kuli tinta.

Apa yang terjadi di Sidoarjo dan Surabaya minggu lalu, bukan sekadar ancaman terhadap keselamatan wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik di lapangan, tetapi juga menimbulkan efek berantai terhadap kemerdekaan pers.

Misalnya, akan memberikan citra negatif terhadap pelaku kekerasan pada pemberitaan pers selanjutnya. Atau kemungkinan lain, pemberitaan media menyangkut aksi kekerasan tersebut menghindari penyebutan aktor kekerasan, karena dianggap sensitif dan berisiko. Maka jelas terlihat, kemerdekaan pers tidak berkembang kondusif ketika ada pihak-pihak yang menggunakan kekuasaan ototnya untuk memaksakan kehendaknya, terlebih aparat kepolisian.

Adanya aksi kekerasan yang menimpa jurnalis tersebut, menunjukkan kemerdekaan pers sedang menghadapi tantangan serius. Khususnya, menyangkut kemerdekaan jurnalis untuk memperoleh informasi dan menyiarkannya. Persoalan kekerasan ini berpotensi membonsai kemerdekaan pers yang tengah dinikmati publik.

Untuk itu, pola kekerasan tersebut harus segera dihentikan dan dipotong. Salah satunya dengan melakukan langkah hukum terhadap aparat kepolisan sekalipun, sebagai salah satu bentuk kontrol sipil terhadap aparat agar mereka jera. Selama ini, penyelesaian kekerasan polisi dilakukan hanya dengan permintaan maaf yang mencerminkan "kekeluargaan". Pola ini menjadi insiden buruk bagi perkembangan profesionalisme kepolisian, karena justru membesarkan asumsi bahwa aparat negara itu tidak pernah salah.

Proses hukum ini diperkuat dengan adanya UU Pers, Pasal 18 Ayat (1) menetapkan, mereka yang sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi tugas wartawan untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi diancam hukuman pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Namun, menjadi rahasia umum jika pelaku kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat, proses hukumnya akan berlarut-larut dan kalaupun diproses hanya pelaku di lapangan, sedangkan sang komandan tidak tersentuh. Karena itu, kita pesimistis kekerasan terhadap jurnalis, khususnya yang terjadi di Jatim, dapat dituntaskan. Maka, saatnya berbagai organisasi jurnalis, ornop, dan masyarakat luas yang berkepentingan terhadap kemerdekaan pers, menjadikan kekerasan tersebut sebagai isu bersama untuk menentukan agenda kebebasan berekspresi ke depan, kalau kita tidak ingin melihat kemerdekaan pers "mati" di Jatim.


EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang dan aktivis Ornop Lentera Foundation Malang
Read More..