Sunday, August 13, 2006

BUKAN SUBSIDI BENIH YANG DIBUTUHKAN

BUKAN SUBSIDI BENIH YANG DIBUTUHKAN
Oleh: E. Musyadad
Penulis adalah Staff pada Yayasan Madani Jombang, anggota Forum Belajar Bersama
Dimuat pada Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org
SADAR (Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi) Edisi: 19 Tahun II - 2006
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Petani dari masa ke masa dibebani dengan persoalan-persoalan yang tidak tertanggungkan. Pupuk dan pestisida mahal, harga panen rendah, serangan hama menggila, air irigasi kurang, siklus musim yang tidak jelas, dan masalah lainnya yang silih berganti. Belum muncul solusi dari persoalan- persoalan tersebut, ada ancaman lagi bagi petani yakni, adanya ketergantungan terhadap benih. Benih bagi petani adalah anak yang sedang dikandung, sehingga tanpa benih mereka tidak dapat lagi beranak-pinak. Tanpa benih, petani tidak akan bisa makan.


Hal inilah yang mendasari gagasan adanya subsidi benih bagi petani. Beberapa hari yang lalu, pemerintah melalui Dinas Pertanian (menterinya) mengunjungi PT Benih Inti Subur Intani (PT BISI) di Kediri. Pemerintah memberikan subsidi benih bagi petani senilai 1,7 triliun (Kompas,15/07/06). Pertanyaan dibenak kita muncul, kenapa benih bagi petani harus disubsidi? Apakah memang benih sudah sebegitu langka dan mahalnya di negeri yang konon berlimpah keanekaragaman hayatinya?
Memang, benih sudah langka dan mahal. Tanpa kita sadari benih-benih peninggalan nenek moyang kita menghilang dan sulit kita dapatkan. Konon sekarang benih-benih pertanian hanya ada di negara tetangga saja. Benih yang dulu beragam dan dapat langsung kita tanam, sekarang tidak ada pilihan yang beragam kecuali hanya itu-itu saja (benih yang sudah diberi nama perusahaan-peresahaan tertentu). Misalnya benih jagung yang kita kenal saat ini hanyalah benih jagung hibrida saja dari jenis pioneer, NK 11, C7, BISI, dan lain-lain. Kalau beras, kita tidak tahu lagi rojo lele yang dulu terkenal, sekarang lenyap tidak tersisa. Kalaupun petani harus menanam rojo lele, harus membeli benihnya dengan mahal.
Kenapa petani kita tergantung benih? Seiring hilangnya benih-benih lokal, muncul benih-benih baru yang (katanya) sebagai penemuan perusahaan pembenihan. Karena benih-benih ini didapat dari penelitian panjang yang mengeluarkan banyak uang, sehingga benih-benih unggul ini harus dijual mahal. Maka, untuk menjaga benih ini agar tidak dipalsukan, perusahaan benih merancang benih yang hanya dapat ditanam satu kali atau dua kali saja. Sehingga, petani jika ingin terus menanam harus membeli benih baru, karena hasil panennya tidak dapat dibenihkan.
Benih-benih ini tidak hanya padi, jagung atau kedelai saja, tetapi buah-buahan (pepaya, melon) hingga sayuran seperti tomat , terong, kentang, labu, bahkan kangkung bibitnya sudah diperjualbelikan di pasar. Ada kecenderungan dimana benih hanya dijual dan dikuasai oleh perusahaan pembenihan saja. Singkatnya, apapun jenis pertaniannya, petani harus membeli benih kepada perusahaan-perusahaan pembenihan. Inilah yang menyebabkan petani tergantung benih.
Tentu saja ini membahayakan bagi keberlangsungan hidup petani. Telah terjadi proses ketidakadilan yang menimpa petani secara diam-diam. Karena bibit adalah sumber daya alam yang diciptakan Tuhan, bukan milik perusahaan, seharusnya semua orang tidak boleh mempatenkan benih-benih pertanian. Tidak seharusnya benih hanya dikuasai oleh segelintir orang yang bertopeng dibalik nama perusahaan.
Petani di kabupaten Jombang misalnya (dan di kota lain tentu saja sama), pertanian menjadi lahan subur bagi perusahaan pembenihan ini dalam memasarkan produknya. Jika beberapa waktu lalu kasus benih jagung di Nganjuk dan Kediri sempat menjadi persoalan, seharusnya kita tanggap dalam melihat gejala adanya “rezim benih” ini. Bayangkan, inisatif rakyat dengan mencipta benih justru dianggap melanggar hukum dan harus divonis penjara.
Secara gamblang, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang mendukung gagasan rezim benih ini. Kebijakan yang dikeluarkan terakhir, subsidi benih bagi petani, maknanya sama dengan membenarkan rezim benih menguasai jantung nadi petani. Dalam beberapa kasus, pemerintah semakin brutal mendukung rezim paten dengan memfasilitasi perusahaan-perusahaan pembenihan masuk ke petani langsung atas nama proyek-proyek yang dikemas pertanian unggulan dan demi ketahanan pangan. Harusnya pemerintah memberi “warning” agar pihak perusahaan pembenihan tidak masuk ke petani di daerahnya. Karena dengan masuknya rezim benih langsung ke petani, mengakibatkan tingkat ketergantungan benih akan semakin luar biasa.
Maka, sebelum petani semakin kehilangan kemerdekannya dalam bertani, pemerintah harus segera memenuhi kebutuhan benih dengan murah tetapi bukan dengan subsidi. Lebih jauh rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah adalah segera mengubah pola kebijakan menuju sistem pertanian yang berbasis masyarakat yang mandiri, bukan pertanian yang bergantung pada benih unggul yang hak patennya dimiliki oleh perusahaan swasta. Kemandirian petani ini harus dimulai dari kemandirian petani atas benih. Pemerintah harus mendukung usaha petani yang “mencipta” benih. Singkatnya, jika kita ingin memandirikan petani, ketergantungan benih adalah prioritas yang harus diselesaikan. Sekali lagi, bukan subsidi benih yang dibutuhkan petani melainkan benih yang murah dan beragam jenis.

1 comment:

Anonymous said...

Arek nJombang to, Salam Kenal Cak!!!