Sunday, August 08, 2004

KEBIJAKAN TRANSPORTASI ALTERNATIF

Kompas Jatim, Senin, 28 Juni 2004

KEBIJAKAN TRANSPORTASI ALTERNATIF
Oleh : E. Musyadad

PEMERINTAH Provinsi Jawa Timur telah merencanakan pembangunan tol tengah Kota Surabaya sebagai upaya untuk mengurangi persoalan transportasi, yakni kemacetan. Kemacetan menang menjadi momok bagi masyarakat kota manapun, tidak terkecuali Surabaya yang memiliki mobilitas sosial yang tinggi dan dinamis. Secara ekologis, situasi kemacetan akan menghasilkan gas beracun semakin banyak dari kendaraan bermotor.

Selain itu, kemacetan telah membuang waktu sia-sia bagi masyarakat kota. Maka, pembangunan tol tengah merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mengurangi penyakit lalulintas ini. Namun, solusi dari problem transportasi tersebut memunculkan pertanyaan baru. Jika kemacetan berimbas terhadap kualitas lingkungan, kenapa solusi yang ditawarkan selalu dengan melebarkan jalan atau dengan membangun jalan tol? Memang, hal ini menjadi tren umum pembangunan kota yang lebih “memilih” memperluas dan membangun jalan-jalan untuk mengurangi kemacetan. Asumsi ekologisnya barangkali jika jalan lancar dan tidak macet, maka polusi udara dan efisiensi lingkungan dapat ditekan. Namun, asumsi ini patut dipertanyakan karena kemacetan juga dapat dimaknai munculnya gejala krisis transportasi di kota-kota besar. Di Surabaya, padatnya industri dan jumlah kendaraan yang beredar sudah sangat besar jumlahnya. Berdasarkan data Satlantas Polwiltabes Surabaya pada tahun 2002 jumlah kendaraan sebanyak 1.000.042 unit.Sedangkan data Dinas Perhubungan Kota Surabaya, jumlah kendaraan pribadi lebih besar dibanding angkutan umum, yakni mencapai 896.500 unit.Angka itu cukup menunjukkan banyaknya kendaraan pribadi berlalu-lalang di semua jalan; mulai dari jalan pemukiman sampai jalan arteri atau bahkan jalan tol. Maka, di Surabaya telah ada disparitas antara sistem sediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand) sarana transportasi massal. Artinya, ketersediaan angkutan umum di Surabaya saat ini dirasa sudah tidak mencukupi bagi kebutuhan mobilitas sosial.Masyarakat sendiri memiliki kecenderungan menggunakan mobil pribadi dikarenakan angkutan publik yang tersedia sangat tidak nyaman, dari yang kapasitasnya dipaksakan; tarif tidak sesuai dengan fasilitas sampai suasana yang tidak aman di bus maupun di tempat pemberhentian. Padahal kalau diperhatikan, penumpang kendaraan pribadi tidak terlalu banyak, maksimal tiga orang. Sementara luasan yang diperlukan untuk melaju kendaraan pribadi tidak kalah besar dengan angkutan umum. Walaupun luasan yang diperlukan tidak sebesar luasan bus antar kota atau bus kota, tetapi jika dilihat dari tingkat okupansinya kendaraan pribadi sangat boros. Artinya, luasan yang dibutuhkan kendaraan pribadi untuk melaju di jalan raya tidak sebanding dengan dengan penumpang yang ada di dalamnya. Hal ini tentunya merugikan secara ekologis, efisiensi waktu bagi pengendara lain, munculnya perbedaan sosial yang mencolok, dan implikasi lain.Melihat gambaran diatas, situasi Surabaya tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena krisis transportasi. Kenapa ? Selain disebabkan oleh adanya laju urbanisasi yang terlalu cepat dan ketidaksepadanan antara infrastruktur, pelayanan dan teknologi transportasi dengan kebutuhan bergerak penduduk Surabaya, krisis ini diperparah oleh kebijakan pembangunan transportasi yang menganakemaskan motorisasi dan memarjinalkan transportasi informal yang berbiaya rendah, tak bermesin. Motorisasi di jalan raya yang semakin memadat dengan mobil pribadi dan kendaran bermotor lainnya menjadi beban lingkungan Tujuan awal motorisasi untuk mengatasi kebutuhan mobilitas masyarakat justru kontaproduktif dengan tujuannya. Maka untuk membangun Surabaya dibutuhkan sebuah proyek jangka panjang. Bukannnya membuat kebijakan yang menyelesaikan masalah lama tetapi memunculkan masalah baru seperti memperluas jalan atau jalan tol. Kalaupun proyek jalan tol telah berjalan, paling tidak pemkot juga harus memikirkan solusi akibat dampak ekologis yang ditimbulkan. Maka, ada beberapa rekomendasi yang perlu dipelajari dalam menyelesaikan kausalitas kemacetan, lingkungan dan krisis transformasi. Pertama, menghidupkan kembali gerakan nonmotor; transportasi informal berbiaya rendah dan tak bermesin, misalnya becak. Banyak anggapan becak merupakan sebab kemacetan kota yang menghambat mobilitas masyarakat. Namun, tesis tersebut terbantah dengan motorisasi transportasi ternyata juga mengakibatkan kemacetan. Problemnya ternyata pada jumlah motor pribadi yang memadati jalan-jalan kota. Kedua, mencontoh di Athena, membatasi mobil pribadi yang boleh keluar beroperasi tiap hari. Misalnya, hari ini mobil yang keluar beroperasi dengan nomor plat ganjil, dan besok nomor plat genap. Intinya ada regulasi yang membatasi jumlah mobil yang ada di jalan raya. Regulasi ini bertujuan mengurangi kemacetan jalan, sekaligus menetralisasi ketimpangan sosial yang terjadi di jalan raya. Selain itu gerakan ini akan mampu “mengurangi” kemungkinan situasi ambang batas kadar bersih udara. Ketiga, mengembangkan trasportasi yang berbasis publik umum. Dalam hal ini bermakna membangun transportasi yang mampu menampung penumpang banyak. Syarat lain yang harus dimiliki transportasi ini adalah minimalnya human error dan memiliki ketaatan terhadap waktu. Dan jawaban yang lebih dekat adalah kereta api kota daripada bis kota. Kereta api relatif taat terhadap waktu dan memiliki human error yang minimal. Selain itu memiliki presentase pemasukan penumpang yang lebih banyak.Usaha pemerintah dengan mengopersikan KA komuter merupakan langkah maju. Adanya KA komuter merupakan pilihan yang mutlak dipenuhi oleh pemerintah dalam menyediakan sarana mobilitas masyarakat. Karena penyediaan angkutan publik yang baik dengan sendirinya akan menyelesaikan atau paling tidak mengurangi kerusakan ekologis, pengurangan jam yang terbuang sia-sia akibat macet kendaraan pribadi dan membangun semangat kebersamaan dalam budaya yang tidak timpang.Maka, kebijakan pembangunan transportasi yang berkelanjutan merupakan proyek alternatif untuk memenuhi kebutuhan mobilitas penduduk kota yang lebih luas. Dua cara pertama diatas merupakan alternatif kebijakan sederhana yang berbiaya rendah. Tetapi jika dilakukan situasi kota akan lebih “hijau”. Dan yang lebih penting bahwa pemerintah telah melindungi masyarakat kecil serta membuka akses luas bagi pelaku transportasi.Akhirnya, kebijakan alternatif tersebut berpulang kepada penguasa kota, karena usaha mewujudkan kota ekologis bagi Surabaya memang harus dilakukan oleh orang yang berkuasa dan memiliki otoritas kebijakan. Maka, jika toh kekuasaan tidak lagi berguna untuk menyelamatkan kesulitan masyarakat Surabaya, paling tidak beberapa syarat menuju kota ekologis tersebut pernah terlintas dibenak kita. Karena membayangkan bernafas dengan udara sehat dan lalu lintas yang teratur tanpa kemacetan rasanya lebih baik. Daripada melintasi jalan tol yang padat atau jalan umum yang macet seperti Surabaya kini.

Peneliti Transportasi Kota Jombang untuk Yayasan Madani

1 comment:

kota 'sehat' said...

Surabaya memiliki warga kota yang plural, dengan segala kemajemukan sosial-budaya. Kepentingan yang berbeda menimbulkan frame 'semu' /lebih tepatnya mengabaikan terhadap lingkungan sekitar dalam hal pembangunan apapun.
paradima kapitalis telah membuat sikap apatis warga serta penguasa kota terhadap apa yang ada di sekitar.
Perubahan pola pikir masyarakat dan penguasa kota adalah 'gembok' dalam mewujudkan kota 'sehat'. Komunikasi adalah 'kunci' untuk membuka gembok itu.
Bagaimanakah komunikasi warga kota dan penguasa kota Surabaya saat ini..? Semoga Kota Surabaya cepat sembuh dari ke'sakitan' yang dideritanya.


Luqman, Planologi ITS ANG.2005