Monday, October 25, 2010

Menjaga perdamaian dari desa

MENJAGA PERDAMAIAN  DARI DESA
Oleh: Edy Musyadad Musyadad
Ketua Perkumpulan Desa Mandiri (www.punden.org)
SUMBER: MAJALAH MAJEMUK-ICRP JAKARTA

"Karena peperangan berawal dari dalam pikiran manusia, maka di dalam pikiran manusia itulah upaya untuk mempertahankan perdamaian harus dibangun".

Kalimat diatas adalah kutipan dari sebuah paragraf terkenal dalam kontitusi UNESCO. Ada sebuah pesan yang dapat kita ambil dari kalimat tersebut melihat situasi konflik yang tiada henti dan pangkalnya ini. Saat ini, dari Bom yang beruntun, kerusuhan masa di beberapa kota, hingga pembunuhan yang di Poso dan Palu beberapa waktu lalu serta kekerasan yang mengusung tema agama. Sehingga, dapat dikatakan perdamaian sedang terancam, kita sedang berada dalam suasana peperangan. Mengapa demikian? Karena perang yang bersumber dari dalam pikiran manusia harus dipahami bukan hanya sebagai peristiwa terjadinya konflik bersenjata dan saling mengirim rudal, tetapi segala macam kekerasan fisik dan non fisik. Pemahaman ini tidak lepas dari makna perdamaian yang merupakan lawan kata antagonis dari perang yang harus dimengerti sebagai negasi dari segala macam kekerasan dalam masyarakat.
Dengan pemahaman yang tidak konvensional ini maka apa yang harus dibangun untuk menciptakan perdamaian dan menumbuhkan kerukunan hidup adalah menggugah kesadaran manusia yang paling dalam tentang hakekat kemanusiaan. Manusia yang memiliki hak asasi, yang diciptakan dalam keaneragaman, yang memiliki perbedaan alamiah dan sosial, dan dilebihkan derajatnya satu dengan yang lain. Jika hal ini sudah ada dalam pikiran kita, maka langkah pertama dalam mewujudkan perdamaian sudah terlewati. Tinggal bagaimana memperjuangan dalam perilaku dan aktivitas kita sehari-hari. Sehingga, jika kita menjadi bagian dari semua ini, sebenarnya layak juga kita disebut pejuang perdamaian

pejuang perdamaian

Ada contoh menarik sebenarnya tentang siapa yang telah berjuang mewujudkan perdamaian ini. Di utara Kota Kediri ada desa yang bernama Jambu yang secara administrasi berada di kecamatan Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri yang terdiri dari sekitar 4.995 jiwa dan 1.190 kepala keluarga. Di desa kecil pinggiran Kediri ini, hidup sejarah yang menempel kuat tentang konflik masa lalu, pembunuhan kemanusiaan yang dirangkum dalam gerakan anti komunisme tahun 1965. Konflik yang sebenarnya dilakukan oleh kekuatan besar di Jakarta 40 tahun lalu, tetapi dampaknya menghantam desa ini yang hingga sekarang masih dirasakan.

Jika mereka kita ajak membicarakan isu ini, ada rasa trauma dan ketakutan. Dalam sebuah cerita, mereka tidak pernah terlibat dalam kelompok politik yang dimusuhi kala itu, tetapi mereka menjadi korban karena berbeda agama dengan kelompok lain di sekitarnya. Sehingga, untuk sekedar menyelamatkan nyawa keluarga, mereka rame-rame meninggalkan agama dan keyakinan mereka sebelumnya. Di kalangan pemuda dan anak-anak yang mereka sendiri tidak mengalami secara langsung konflik, mereka juga seperti enggan berkomentar. Seolah-olah mereka tidak mau mengaduk-aduk kembali persoalan yang dulu diceritakan orang tua mereka.

Namun, dari rasa traumatik yang mendalam ini ada semangat dan praktik perdamaian yang tinggi justru muncul dari sana. Di Jambu, paling tidak ada empat agama yang hidup yakni: Katolik, Kristen Jawi Wetan, Hindu dan Islam. Fakta ini tidak menyurutkan mereka untuk bekerjasama dalam kegiataan sehari-hari mereka. Kehidupan bertani sebagaimana penduduk pedesaan, secara alamiah membuat mereka selalu bertemu dan saling membantu. Dalam kelompok pemudanya, mereka juga membuat berbagai kegiatan dari pengembangan ekonomi kelompok, hingga kegiatan yang sifatnya sosial. Even-even inilah yang sebenarnya memecah situasi trauma, karena dari sana lahir kepercayan antar sesama, muncul solidaritas antar individu, dan keyakinan baru tentang kekuatan kebersamaan dalam membangun desanya. Gambaran perdaiaman dalam dunia anak-anak yang lebih konkrit adalah adanya kursus bahasa Inggris bagi anak-anak SD dan SLTP yang digerakkan kaum mudanya. Lembaga kurus ini kemudian menjadi semacam kegiatan yang mampu memotong konflik masa lalu. Anak-anak tidak lagi dikotak-kotak dalam sejarah orang tuanya, mereka diberi ruang untuk bermain dan belajar bersama.

Dari potongan kecil cerita Desa Jambu tersebut, sebenarnya menunjukan bahwa kalimat yang ada dalam konstitusi UNESCO diatas sudah dilakukan oleh warga pinggiran Kediri ini. Bahkan mereka sudah jauh masuk dalam perjuangan mewujudkan perdamaian dengan menggerakan warganya dengan berbagai kegiatan yang mampu mengikat solidaritasnya. Dari sisi pendidikan anak-anak, kaum mudanya telah menanamkan dalam pikiran generasi penerusnya bahwa mereka yang berbeda tidak harus berbeda juga cara bermain dan belajarnya. Dengan kursus bahasa Inggris, anak-anak saling berinteraksi dan bergaul bersama. Kalimat: karena peperangan berawal dari dalam pikiran manusia, maka di dalam pikiran manusia itulah upaya untuk mempertahankan perdamaian harus dibangun, di Jambu sudah terlewati, sehingga perdamaian sampai saat ini tetap terjaga. Dan mereka, warga Pagu, layak disebut pejuang perdamaian.

Melihat kasus kecil diatas, kita dapat menangkap bahwa sebenarnya perjuangan perdamaian ini adalah perjuangan kehidupan sehari-hari mereka. Mereka sudah melakukan tanpa disuruh dan tanpa dikampanyekan. Untuk pemenuhan kebutuhan keluarga mereka, (ekonomi, pendidikan, sosial) justru mekeka bekerja tanpa diperintah berperan sebagai pejuangan perdamaian bagi desanya.

Dengan demikian, bangunan tentang kerukunan bangsa tidak perlu dipahami secara jelimet dan susah payah, cukup dengan menumbuhkan kesadaran tentang keanekaragaman dan perbedaan yang inheren dalam masyarakat dan mengaktualisasikannya dalam perilaku politik yang tidak diskriminatif, arogan, dan mendominasi kebenaran dalam praktik keseharian. Dalam perspektif demikian, kerukunan bangsa bukan hanya angan-angan yang tidak bisa diwujudkan. Bukan juga momok yang menghantui kehidupan kita siang dan malam. Bukan juga, sebuah proyek besar yang harus diseminarkan. Dengan demikian, perdamaian dan kerukunan umat beragama merupakan realita yang tidak susah untuk dicapai meskipun sampai batas tertentu juga bukan pekerjaan mudah.

Dengan memahami perdamaian dalam praktik kehidupan yang konkrit adalah cara mudah menuju perdamaian dalam pikiran tersebut. Dari pada, membicarakan dalam sebuah tema besar tentang dialog umat beragama, misalnya. Karena dalam dialog yang demikian mau tidak mau mereka harus memisahkan diri dan berkumpul dengan kelompok yang seagama. Bila hal ini terjadi, maka dialog perdamaian yang kita rancang justru menjadi pengkotakan ulang, membuat batas yang tanpa kita sengaja. Dan mulailah, perdamaian itu hilang dalam pikirian.

Semoga contoh pengalama Desa Jambu tersebut dapat tertular ke kelompok lain. Catatan terakhir, mungkin judul diatas--Menjaga Perdamaian Dari Desa--terlalu hiperbolik, namun dengan judul tersebut paling tidak dalam pikirian kita sudah tertanam ide perdamaian. Dengan demikian, peperangan mulai kita matikan dan kita juga memulai upaya untuk mempertahankan perdamaian itu sendiri.

No comments: