Sunday, August 08, 2004

NU-PKB DALAM GELIAT POLITIK JATIM

Kompas Jatim, Jumat 25 Juli 2003
NU-PKB DALAM GELIAT POLITIK JATIM
Oleh : M. Hasyim dan E. Musyadad *

TIDAK dapat dipungkiri bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan anak kandung yang dilahirklan dari tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga hubungan ini dapat dikatakan sebagai relasi politik yang “genetikal” antara NU dengan PKB, NU sebagai bapak dan PKB adalah anaknya. Namun, ditengah percaturan politik yang dinamis ini seringkali bapak dan anak sering beda pendapat dan berjalan berseberangan yang tentunya memunculkan keretakan hubungan.


Realitas ini terakhir kali muncul di Jatim dalam menyikapi pemilihan gubernur beberapa hari yang lalu. Keretakan hubungan tersebut berawal dari keinginan sebagian tokoh NU Jatim mendukung pasangan Imam Utomo-Soenarjo, sedangkan PKB “ngotot” mencalonkan pasangan Abdul Kahfi Bakri-Ridwan Hasjim. Perbedaan aspirasi ini semakin mengerucut menjadi fragmentatif setelah adanya dukungan PKB Jakarta terhadap keputusan PKB Jatim. Pasca hirup pikuk politik di DPRD yang berakhir dengan kemenangan pasangan Imam-Soenarjo, bukan berarti persoalan ini selesai damai; sebaliknya pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan relasi politik “genetikal” antara NU-PKB semakin menemukan konteksnya. Hal ini dapat kita lihat dari polemik ketidakloyalan anggota dewan dari F-KB terhadap kebijakan partai. Ada beberapa alasan yang dapat dibaca dari ketidakpatuhan politik anggota F-KB ini. Pertama, memang benar pemilihan gubernur kemarin telah menjadi ajang politik uang yang selama ini santer terdengar di telinga publik. Dan salah satunya, mungkin berkaitan dengan pembelotan anggota F-KB dalam memenangkan jagonya, Kahfi-Ridwan. Kedua, ketidakpatuhan ini berangkat dari murni kekecewaan anggota dewan yang memiliki aspirasi tersendiri terhadap PKB Jakarta yang “memaksa” untuk mengamankan cagub-nya. Ketiga, alasan kedua tersebut semakin relevan jika melihat aspirasi beberapa tokoh NU di Jatim yang mendukung Imam-Soenarjo. Singkatnya, memilih Imam-Soenarjo merupakan implikasi tanggungjawabnya sebagai anak yang baik dari NU.Maka, tidak dapat disangkal lagi jika relasi politik “genetikal” NU-PKB ini semakin menemukan alasan untuk mempertanyakan lagi konsep lama bahwa PKB adalah anak kandung NU. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa PKB memiliki hutang historis terhadap NU. Tanpa NU, PKB tidak akan menjadi sebuah kekuatan politik yang diperhitungkan seperti sekarang. Sedangkan bagi NU, PKB merupakan wadah aspirasi politik yang dapat memposisikan NU sebagai organisasi berpengaruh dimata umat maupun dihadapan negara. Sehingga NU memiliki kepentingan ideologis dalam eksistensi PKB selain memperjuangkan aspirasi kaum nahdliyyin tentunya. Relasi historis dan ideologis yang menurut Ali Maschan Moesa menjadi saluran aspirasi ini pada satu titik menjadi hubungan yang sifatnya simbiosis mutualisme, keduanya diuntungkan. Namun, pada satu titik hubungan yang demikian akan menjadi hubungan organis yang dapat berubah kapan saja. Relasi yang yang demikianlah yang menyebabkan relasi politik “genetikal” NU-PKB tidak efektif ketika dibutuhkan sebuah keselarasan suara. Hal ini dengan jelas terjadi beberapa hari yang lalu dalam pemilihan gubernur Jatim dimana suara bapaknya (beberapa tokoh NU) ditolak anaknya (PKB). Ketidakpatuhan anak terhadap pendapat bapaknya dalam konteks geopolitik Jatim akan memberi gambaran yang cukup signifikan kedepannya. Sehingga, pola hubungan yang sekarang sedang “tidak baik” ini menjadi catatan yang menarik jika dilihat dalam konteks hubungan “genetikal” politik PKB-NU yang sama-sama memiliki tanggungan moral, menyuarakan umatnya, khususnya di Jatim.Potensi menyuarakan umat di Jatim bagi NU-PKB merupakan hal yang kongkrit jiika dikaitkan dengan suara yang signifikan dalam kursi dewan maupun kultur masyarakatnya yang tradisionalis dan lekat dengan tradisi sarung. Suara yang tersebar dari total jumlah penduduk Jawa Timur yang sebanyak 34.899.236 jiwa (tahun 2000) di berbagai wilayah seluas 147.130,15 km2 ini memberi gambaran betapa potensialnya suara yang dapat dirangkul dalam relasi NU-PKB ini di Jatim. Potensi suara ini juga dapat kita lihat dalam peta politik nasional dalam era kepemimpinan Gus Dur kemarin, dimana Jatim menjadi andalan politik dalam menentukan berbagai macam kebijakan yang sifatnya penting dan menentukan. Maka, jika relasi politik “genetikal” NU-PKB tidak segera tata ulang tentu saja akan mengubah peta politik di Jatim, khususnya kepentingan nahdliyyin. Dalam mengacu pada kesepakatan Khitah 1926 Situbondo dan muktamar-muktamar yang telah diselenggarakan NU, ada dua poin yang sifatnya substantif dan baku. Pertama, bahwa NU memegang nilai dasar perjuangan yang mengedepankan tawasut, tawazun, iktidal dan tasamuh sebagai wujud keberagamaan yang pluralis dan moderat. Kedua, khitah merupakan konsep, sehingga memerlukan alat operasional yang sifatnya tidak mengikat dan fleksibel. Namun, alat tersebut tidak dapat keluar dari pemahaman bahwa NU tidak akan masuk kedalam medan politik praktis. Dari kedua poin tersebut, sebenarnya telah memberi jawaban tentang kelahiran PKB sebagai partai politik. NU yang berangkat dari pemahaman bahwa Islam adalah untuk semua manusia (rahmatan lil alamin), bekerja sebagai pejuang untuk mengayomi dan melindungi semua golongan. Bekerja untuk lingkaran yang pluralis, lintas sektor dan golongan. Dan peran ini tidak akan dapat dikerjakan dalam ranah politik praktis. Padahal umat nahliyyin sendiri merupakan fenomena yang majemuk dan beragam. Maka, untuk mengamankan posisi dan peran ini NU membutuhkan partai yang mampu memproteksi aspirasi ini. Dan dalam sejarahnya, pilihan itu akhirnya jatuh dengan melahirkan sendiri partai yang bernama PKB tersebut.Namun, melihat perang kuasa yang terjadi dalam relasi politik “genetikal” NU-PKB ini apa yang harus dilakukan oleh NU sekarang. Peran dan posisi yang tidak lagi menjanjikan dalam tubuh PKB sebagai alat operasionalisasi khitah 1926 menjadikan semakin pentingnya menata ulang relasi tersebut. Lebih penting lagi jika hal ini dikaitkan dengan warga nahdliyyin yang selama ini dibingungkan oleh relasi tersebut. Gaya kepemimpinan yang selama ini muncul dan telah menjadi kekhasan NU-PKB adalah patron klien dalam struktur maupun fungsi. Hal ini tidak menguntungkan bagi warga nahdliyyin yang menitipkan aspirasi sosial kepada NU disatu sisi dan disisi lain menjadikan PKB sebagai wadah politik. Karena dalam setiap momen penting yang menentukan masa depan, warga nahdliyyin selalu diam terhadap pemimpin walaupun ditinggalkan aspirasinya atau patuh untuk dilibatkan dalam perselisihan NU-PKB. Dus, disinilah sebenarnya nahliyyin tidak terlibat dan tidak berkepentingan dalam konflik seputar NU-PKB ini. Karena jika hal ini berlangsung terus menerus dan menjadi persoalan kronis, warga nahdliyyin-lah yang pada akhirnya dibebani. Maka, pentingnya untuk segera membangun relasi baru yang genetikal menjadi kultural. Artinya, sudah tidak patut lagi NU berkepentingan praktis terhadap politik. Justru peran yang jauh lebih substantif adalah bagaimana menjaga dan melindungi hak-hak nahdliyyin, golongan lintas sektor yang akan menjadi korban kekuasaan. Posisi oposan ini bukannya sebagai wujud ketidaksenangan atau kekecewaan, tetapi bentuk dari mewujudkan khittah 1926 di Situbondo tersebut, memproteksi apa yang menjadi hak rakyat tidak dilanggar oleh kekuasaan. Karena siapapun pemimpinnya, dapatkah menjamin harga gabah dan gula stabil, air tidak kering, memakmuran merata, pendidikan murah di Jatim. Tidak (!) Dan lagi-lagi kaum nahdliyyin dan warga Jatim-lah yang dirugikan.

Penulis adalah Direktur Lakpesdam Nu Jombang
Pemerhati masalah sosial UMM

No comments: