Monday, October 25, 2010

Proses Politik Yang Menghancurkan Solidaritas Rakyat Kecil

PROSES POLITIK YANG MENGHANCURKAN SOLIDARITAS RAKYAT KECIL
Ditulis oleh Edy Musyadad
Direktur Perkumpulan Desa Mandiri (PUNDEN) Nganjuk (www.punden.org)
SUMBER: MAJALAH MAJEMUK-ICRP JAKARTA

BEBERAPA orang di sebuah dusun yang bernama Karang Tengah Desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk berkumpul dan sepakat menamai perkumpulannya, Paguyuban Mandiri yang disingkat PAMAN. Mereka berkumpul rutin setiap bulan dengan membawa uang 1000 rupiah sebagai iuran wajib yang dikelola koperasinya. Dalam pertemuan itu, beragam tema dibicarakan, tetapi tidak jauh dari bagaimana cara membangun desanya. Usaha yang dilakukan PAMAN ini tiba-tiba banyak mendapat sorotan positif dari warga, bahkan warga diluar desanya tergerak untuk turut menjadi anggota.
Namun demikian, stigma buruk tetap saja menghantui organisasi komunitas ini. Mereka dianggap kubu anti kepala desa terpilih sekarang. Memang tidak dipungkiri, sebagian anggotanya dulu adalah orang yang diidentifikasi sebagai pendukung calon kepala desa yang kalah. Walaupun pemilihan kepala desa (pilkades) sudah berjalan hampir 2 tahun  lalu, konflik antar pendukung itu masih terasa sisa-sisanya. `
Belum selesai dan tuntas konflik akibat dari Pilkades, mereka terpaksa harus masuk dalam ruang politik baru yakni Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Nganjuk. Beragam program dan kampanye juga sampai di desa mereka. Bahkan kader-kader lokal sebagai tim sukses juga muncul di dusun kecil ini. Mau tidak mau, mereka saling membicarakan dan terus mencurigai. Ada juga yang menjaga jarak untuk tidak berkomunikasi walaupun bertetangga. Alasannya, konflik dari pilkades saja masih terasa sakitnya, apalagi sekarang berseberangan calon bupati yang didukung. Pilkada usai bukan berarti konflik selesai. Justru semakin parah karena ada Pemilihan Gubernur (Pilgub).

Maka, dapat dipastikan setiap ada proses politik, tatanan sosial di dusun itu goyah. Orang saling membenci, muncul kecurigaan sesama tetangga, ada tetangga yang menolak membantu tetangganya yang lain. Bahkan, orang tua melarang anaknya bermain dengan tetangganya yang beda aspirasi politik. Mereka saling menutup diri dengan para tetangga. Rasa curiga kemudian muncul, rasa solidaritas pelan-pelan hilang dari rumah mereka. Perdamaian di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota ini hilang begitu saja dalam sekejap. Kedamaian di dusun kecil itu pecah dan semuanya berantakan.

Harapan Masih Ada
Itulah cerita singkat tentang konflik yang diakibatkan proses politik di sebuah dusun di Nganjuk. Betapa ruang kerukunan dan solidaritas rakyat kecil sangat rapuh dan dihancurkan oleh proses politik yang kita tahu, kesemuanya masih digerakkan oleh politik uang. Pertanyaannya, siapa yang harus menjalin lagi solidaritas antar orang yang sudah hilang itu?
Sekali lagi, saya ingin bercerita tentang PAMAN. Dalam sebuah pertemuan diungkapkan salah satu anggota, bahwa berdirinya PAMAN bukan untuk memusuhi kepala desa terpilih. Justru, PAMAN lahir untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi anggotanya baik persoalan pertanian yang merupakan pekerjaan atau profesi anggota, maupun persoalan-persoalan ekonomi yang saat ini dirasa semakin sulit. Semua itu dalam rangka membangun desa. Selama ini, persoalan rakyat kecil tidak pernah selesai walaupun sudah berkali-kali proses politik terjadi, baik di tingkat desa, kabupaten, maupun provinsi. Sehingga, mereka mulai sadar bahwa proses politik yang selama ini terjadi justru melupakan persoalan dasar yang mereka hadapi, kesehatan murah, pendidikan anak, pertanian yang baik, maupun bagaimana mendapatkan pinjaman cepat dengan bunga rendah dan dari koperasinya sendiri.
Akhirnya, kegiatan-kegiatan dirancang oleh PAMAN. Pertemuan rutin terus dilakukan. Mulailah nampak keberhasilannya, walaupun tidak diukur dengan uang. Misalnya mereka merancang untuk menyewa tanah bersama-sama dengan modal iuran. Dan lahan sewaan ini akan digarap bersama-sama. Mereka akan mencangkul bergiliran, bertanam dikerjakan para istri anggota, dan hasil panen akan dimasukkan dalam uang kas. Tanpa disadari, solidaritas antar orang di dusun itu mulai tumbuh kembali. Rasa curiga tiba-tiba hilang, karena saling berkomunikasi. Rasa untuk saling membantu datang begitu saja. Mereka yang terlibat dalam paguyuban seolah-olah tidak punya masalah. Padahal, anggota PAMAN ini sangat beragam jika dilihat dari afiliasi politik. Ada yang pengurus Anak Cabang sebuah partai nasionalis, ada juga yang ketua ormas NU, tidak sedikit yang masih beraroma kuning. Keberagamaan mereka juga tidak tunggal. Sebagian besar Islam  (dan itupun  ada yang NU juga Muhamadiyah), ada yang Hindu.
Saat ini mereka sedang merencanakan sebuah pengajian bersama sekaligus sebagai momentum untuk mendeklarasikan adanya PAMAN. Kegiatannya dirancang untuk melibatkan anak-anak kecil hingga orang tua, dari lomba mewarnai sampai mendatangkan pembicara agama dan Dinas Koperasi Kabupaten. Target mereka, semua orang paham bahwa kemajuan desalah yang jauh lebih penting. Kemajuan desa itu harus dimulai dari kemajuan anggotanya dan kesadaran warganya. Mereka sedang menyamakan mimpi dan cita-citanya. Mereka sedang menjalin solidaritas yang lama tercerabut. Karena dengan mencari kesamaan-kesamaan, solidaritas akan terbangun.
Jika kita kembali ke pertanyaan awal, siapa yang harus menjalin lagi solidaritas antar orang yang sudah hilang itu. Ternyata bukan politikus yang sering umbar jargon gotong royong, melainkan masyarakat sendiri yang melakukan rekonsiliasi. Melihat pengalaman dari PAMAN, ada strategi menarik dimana tujuan mulia itu dilakukan melalui kelompok atau organisasi. Saat ini, kelompok-kelompok yang arahnya seperti PAMAN ini mulai muncul di kabupaten Nganjuk, maupun kabupaten lain baik melalui kelompok, arisan, koperasi maupun paguyuban. Organisasi-organisasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit dan didepan mata inilah yang semestinya didorong tumbuh dan berkembang. Toh, senyatanya organisasi yang berjenis kelamin politik justru menjadi pemicu tumbuhnya persoalan.
Melihat kasus kecil diatas, kita dapat menangkap bahwa sebenarnya perjuangan perdamaian ini adalah perjuangan kehidupan sehari-hari mereka. Mereka sudah melakukan tanpa disuruh dan tanpa dikampanyekan. Upaya perdamaian adalah upaya pemenuhan kebutuhan keluarga mereka (ekonomi, pendidikan, sosial). Upaya menyelesaikan persoalan bersama yang terorganisir dalam sebuah kelompok. Kelompok-kelompok ini telah bekerja tanpa diperintah, berperan sebagai pejuang perdamaian bagi desanya.
Dengan demikian, bangunan tentang kerukunan bangsa tidak perlu dipahami secara jelimet dan susah payah, cukup dengan menumbuhkan kesadaran tentang keanekaragaman dan perbedaan yang inheren dalam masyarakat dan mengaktualisasikannya dalam perilaku sehari-hari, persoalan dasar yang dihadapi. Dalam perspektif demikian, kerukunan bangsa bukan hanya angan-angan yang tidak bisa diwujudkan. Bukan juga momok yang menghantui kehidupan kita siang dan malam. Bukan juga, sebuah proyek besar yang harus diseminarkan. Dengan demikian, perdamaian dan kerukunan merupakan realita yang tidak susah untuk dicapai meskipun sampai batas tertentu juga bukan pekerjaan mudah. Dengan memahami perdamaian dalam praktik kehidupan yang konkrit, menjadi cara mudah menuju perdamaian itu sendiri. Semoga contoh pengalaman Dusun Karang Tengah tersebut dapat tertular ke kelompok lain.

No comments: