Saturday, July 31, 2004

Persoalan TKI Asal Jatim Bisa Meledak

Kompas, Sabtu, 10 Agustus 2002

Persoalan TKI Asal Jatim Bisa Meledak

MINGGU terakhir ini, Provinsi Jawa Timur (Jatim) kembali mendapat tantangan persoalan yang pelik. Belum tuntas kontroversi tentang pemecatan Wali Kota Surabaya, daerah kemiskinan yang menjamur, Jatim kembali dibebani persoalan pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia.


Jumlah TKI ilegal yang dipulangkan dari Malaysia itu menurut Direktorat Jenderal Mobilitas Penduduk (Dirjen Mobduk) Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi (Depnakertrans) yang sudah tiba di Indonesia mencapai sekitar 250.000 orang, sementara di Malaysia masih ada sekitar 100.000 orang yang menunggu proses kepulangan ke Tanah Air. Sebagian besar berasal dari provinsi Jateng dan Jatim.

Mengapa Jatim menduduki peringkat fantastis sebagai daerah penyumbang TKI? Hal itu disebabkan masih banyaknya daerah miskin, dari 30 lebih kabupaten di Jatim, 22 kabupaten di antaranya adalah daerah kantung kemiskinan, seperti di antaranya Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Banyuwangi, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Trenggalek Tulung Agung dan Kabupaten Malang merupakan kantung TKI di Jatim. Maka, melihat data TKI tersebut dapat disimpulkan bahwa Jatim meyimpan persoalan TKI yang siap meledak kapan saja, seperti saat ini.

Persoalan TKI merupakan benang kusut yang rumit. Hal ini misalnya dapat dibaca dari alur perjalanan TKI. "Mereka" (sistem, hukum, dan lain-lain) selalu menempatkan TKI dalam posisi lemah dan terjepit. Di desa-desa, para calon TKI direkrut oleh calo dengan keharusan membayar sejumlah uang; ditampung di tempat penampungan dengan perlakuan kurang manusiawi; tiba di negeri tujuan para TKI tidak mengetahui hak dan kewajibannya; perlakuan majikan yang sering melampaui batas kemanusiaan; perlakuan konsulat dan kedutaan yang kurang baik; perusahaan jasa TKI (PJTKI) yang saling lempar tanggung jawab jika ada TKI bermasalah. Setelah beberapa tahun kembali ke Tanah Air, TKI diperlakukan sebagai manusia kelas kedua, di bandara diperas dan mengalami berbagai persoalan lainnya.

Melihat problematika TKI tersebut, kita semakin pesimistis, terlebih jika menengok angka statistik menyangkut TKI kita. Data yang dimiliki oleh Konsorsium Pembelaan Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), selama bulan Januari-April 2001 terjadi 1.714.522 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap TKI.

Dari jumlah tersebut, tercatat 10 orang meninggal saat bekerja dan 69 orang lagi mengalami pemerkosaan dan penganiayaan. Sedangkan LSM Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) mencatat selama Januari-April 2001 di Malaysia tercatat 1,5 juta buruh tidak berdokumen, 14.000 dipenjara, 120.000 dideportasi, 32.000 diberhentikan, dan 6.288 orang ditangkap.

Kewajiban negara

Faktualisasi problematik buruh migran dalam angka tersebut tidak semata-mata otonom dan di luar konteks sistem kita yang telah terbangun. Tetapi, sangat korelasional dengan berbagai hal yang ada di dalam negeri, salah satunya adalah tata hukum kita yang belum melindungi buruh migran.

Maka, upaya mendesak negara untuk segera membuat payung hukum perlindungan buruh migran semakin penting. Indonesia yang termasuk sebagai pengirim buruh migran terbesar ke luar negeri, sampai saat ini belum meratifikasi konvensi internasional PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya (UN Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families 1990).

Saat ini baru 11 negara-di Asia baru Malaysia dan Sri Lanka-yang meratifikasi konvensi tentang perlindungan buruh migran tersebut. Padahal, konvensi itu berlaku kalau sudah ditandatangani oleh 20 negara. Maka, mau tidak mau pemerintah harus membuat undang-undang yang melindungi buruh migran. Jika kewajiban negara tersebut dilakukan dengan setengah-setengah-tidak adanya payung hukum yang kuat dan berkeadilan-tentu saja hak warga negara (buruh migran) untuk mendapat perlindungan, pekerjaan yang layak seperti dijamin dalam UUD 1945 tidak pernah terwujud.

Penghapusan dan perlindungan buruh migran bagi Indonesia masih sulit dilakukan karena masih bergelut dengan masalah yang lebih mendasar, yakni persoalan ekonomi dan perubahan sosial politik. Buruh migran sendiri dalam kategori historis sangat relasional dengan problem kemiskinan negara.

Data yang disampaikan sebuah LSM, melalui buruh migran yang bekerja di Arab Saudi saja pada tahun 1994-1997 tercatat sekitar satu milyar dollar AS dari total devisa negara secara keseluruhan yang 2.684.035.741 dollar AS. Angka yang luar biasa tentang pemasukan devisa tidak serta merta membawa kondisi yang menggembirakan bagi para TKI.

Problematika TKI yang integral dengan wacana kemiskinan tersebut dapat dipastikan tidak terselesaikan dalam waktu dekat.

Maka, ketika negara mengabaikan kewajibannya (state obligation) dalam hal pemajuan (to promote), pemantauan (to monitor), dan perlindungan (to protect) buruh migran, kita tidak dapat berpangku tangan begitu saja melihat situasi sosial buruh migran saat ini. Sudah saatnya berbagai organisasi sosial, ornop, dan masyarakat luas yang menjadikan buruh migran sebagai isu bersama untuk menentukan agenda menghentikan perdagangan manusia (trafficking) dengan membuat strategy planning menyangkut persoalan buruh migran ini.

EDDY MUSYADAD Pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan peneliti pada organisasi nonpemerintah (ornop) Lentera Foundation Malang

No comments: