Saturday, July 31, 2004

SARS dan Kecemasan Sosial di Jatim

Kompas, Rabu, 09 April 2003

SARS dan Kecemasan Sosial di Jatim

SINDROM pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) telah memicu kepanikan hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali di Jawa Timur (Jatim). Kecemasan akibat pemberitaan wabah SARS ini membuat warga Jatim memburu masker dan mengonsumsi vitamin serta suplemen tambahan lainnya untuk mengantisipasi wabah SARS ini (Kompas, 7/4).

ANGKA penderita penyakit misterius ini-yang pertama kali ditemukan di pedesaan Cina dan kini telah mewabah di seluruh dunia-bertambah secara cepat dan luas. Pada tanggal 1 April, menurut Departemen Kesehatan, kasus SARS mencapai 1.804 dengan korban meninggal 62 orang dan terjadi di 17 negara. Hari berikutnya, 2 April, SARS telah melanda 2.223 orang, dengan korban meninggal 78 orang dan terjadi di 18 negara. Karena itu, melihat tingkat perkembangannya, kita perlu "cemas" menghadapi situasi seperti ini.

Walaupun ahli mikrobiologi telah mengidentifikasi penyebab SARS, yakni coronavirus, sehingga SARS diubah menjadi corona virus pneumonia (CVP), tetapi belum menemukan obat untuk menyembuhkan SARS. Sebaliknya, penyakit SARS dapat sembuh dengan sendirinya jika orang yang tertular memiliki ketahanan tubuh yang prima, masih muda serta tidak memiliki faktor risiko seperti alergi atau riwayat menderita penyakit paru. Namun, siapa tahu kalau kita sedang memiliki ketahanan tubuh yang kuat seperti itu? Terlebih SARS dengan tingkat penyebaran cepat mewabah menimbulkan risiko kematian yang tinggi.

Maka, rasa cemas ini merupakan ekspresi publik Jatim yang sangat normal. Salah satu daerah yang perlu diwaspadai penyebaran SARS adalah daerah asal tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan daerah yang mobilitas orang asingnya tergolong tinggi.

Jatim adalah salah satu daerah penyumbang TKI terbesar dan memiliki mobilitas orang asing yang relatif tinggi karena Surabaya merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia. Jatim merupakan daerah yang padat penduduk dan memiliki pintu masuk internasional, yaitu Bandara Juanda dan Pelabuhan Tanjung Perak sehingga Jatim merupakan daerah yang memiliki potensi sangat besar bagi masuknya wabah SARS. Selain itu, masyarakat Jatim juga rentan terkena SAR karena kondisi kesehatan lingkungan dan derajat kesehatan sosial masyarakat yang masih sangat rendah.

Kecemasan publik yang tidak terkontrol akibat SARS membawa dampak yang berantai. Masyarakat yang mulai melakukan perburuan masker, suplemen tambahan, dan lain-lain, menunjukkan adanya ketidakamanan untuk beraktivitas. Bisa dibayangkan, misalnya SARS telah mewabah di Jatim, di setiap sudut kota orang menggunakan masker; sekolah-sekolah diliburkan, masyarakat menghindari tempat-tempat umum, kota menjadi lengang dan sunyi.

Jika kecemasan terus berlanjut maka akan berkembang menjadi "kemalasan" publik untuk bepergian melakukan aktivitas bisnis maupun sosialnya. Karena itu, dapat dipastikan dunia bisnis dan ekonomi di Jatim akan lesu dan menurun. Jumlah penumpang maskapai penerbangan Garuda rute Surabaya-Singapura (pp) turun lebih dari 50 persen. Ini berarti kehilangan pendapatan (loss opportunity) sekitar Rp 90 juta per hari (Kompas, 4/4).

Melihat kecemasan publik yang melanda Jatim tersebut, dapat dibaca dua hal. Pertama, pemberitaan dunia tentang SARS yang hiperbolik di tengah kecemasan masyarakat dunia menghadapi perang bisa jadi merupakan sebab munculnya kecemasan. Kedua, kecemasan muncul karena tidak adanya informasi yang baik, valid, dan mudah diakses publik tentang SARS ini.

Oleh karena itu, masyarakat kebingungan, yang kemudian mencari-cari informasi sendiri dan memperbicangkan SARS secara berlebihan. Kedua alasan itu bisa jadi saling melengkapi. Namun, apa pun alasannya, jika masyarakat telah melek informasi kondisi kecemasan tidak akan berubah atau mempengaruhi aktivitas ekonomi maupun sosialnya.

Apa sindrom SARS itu?

Bagaimana sebenarnya SARS itu muncul dan kemudian mewabah? SARS pertama kali ditemukan di Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Cina. Seorang dokter Cina yang terjangkit penyakit SARS berkunjung ke Hongkong pada bulan Februari. Mereka kemudian menularkan ke Vietnam, Kanada, Singapura, dan kepada orang-orang di Hongkong.

Severe acute respiratory syndrome (SARS) atau corona virus pneumonia (CVP), adalah kasus dugaan (suspect case) di mana seseorang menderita demam di atas 38 derajat Celsius, disertai masalah pernapasan, batuk kering, tenggorokan sakit, sulit bernapas, tersengalsengal, ngilu otot, serta sakit kepala yang disebabkan strain virus baru corona virus, keluarga virus yang bersifat menular yang biasanya menyerang saluran pernapasan atas dan menyebabkan selesma/pilek (common cold).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), SARS menyebar seperti flu atau radang paru, melalui partikel yang melayang di udara atau cairan tubuh. Masa inkubasinya antara dua hingga tujuh hari. Namun, penyakit ini hanya menyerang orang-orang yang langsung dan intens berhubungan dengan mereka yang sakit.

SARS perlu terus diwaspadai karena pneumonia misterius ini belum diketahui penyebabnya. Pneumonia merupakan semacam infeksi yang menyebabkan paru meradang. Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen berkurang. Kekurangan oksigen ini membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja, yang pada akhirnya penderita pneumonia bisa meninggal.

Maka, SARS yang telah menjadi teror bagi derajat kesehatan publik membuat WHO akhir pekan lalu mengeluarkan peringatan global darurat tentang ancaman penyebaran penyakit SARS yang kini telah melanda Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Melihat realitas tersebut, kita tidak boleh lagi menganggap persoalan SARS tersebut sebagai persoalan biasa. Hal ini harus menjadi perhatian serius di Jatim karena melihat potensi SARS yang cepat berkembang di daerah dan risiko kematian yang tinggi akibat penyakit itu. Terlebih secara sosial, mengakibatkan rasa tidak aman dan cemas di kalangan masyarakat Jatim.

Saat ini pemerintah pusat telah resmi menetapkan sindrom pernapasan akut parah (SARS) sebagai salah satu wabah nasional yang patut segera dicegah penyebarannya. Ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/Menkes/SK/IV/2003 tentang Penetapan SARS sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Pedoman Penanggulangannya.

Keputusan tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-Undang No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dan sebagai tindak lanjutnya, pemerintah akan membetuk tim verifikasi wabah di tingkat provinsi.

Melihat Jatim yang rentan dan berpotensi terjangkit SARS sudah seharusnya pemerintah daerah menerjemahkan usaha pemerintah pusat tersebut secara progresif. Maka, yang mendesak saat ini untuk dilakukan adalah adanya pusat informasi (hotline) menyangkut SARS di seluruh pemerintah kota (pemkot) dan pemerintah kabupaten (pemkab). Selain untuk mempermudah kontrol dan mendeteksi kasus SARS di daerah, hotline ini dapat digunakan untuk melakukan koordinasi jika SARS muncul sewaktu-waktu.

Pusat informasi ini sekaligus juga dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi isi UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Karena dalam salah satu pasal UU tersebut menyatakan: "Mengancam orang yang menghalangi dan tidak mau diperiksa dikenakan ancaman 1 tahun penjara. Dan bagi penyebar SARS diancam hukuman 10 tahun penjara". Peraturan ini jika tidak disosialisasikan dengan baik, justru akan menimbulkan masalah baru di masyarakat yang berujung semakin menambah kecemasan sosial.

Kedua, membuat kebijakan antisipatif dengan membatasi (mengontrol), menunda sementara kunjungan ke daerah yang terjangkit SARS. Salah satu prosedur antisipasi itu adalah, penumpang pesawat/kapal dari kota-kota yang diduga ada kasus SARS diberikan kartu kewaspadaan kesehatan (health alert card) karena Surabaya merupakan tempat transit nasional dan internasional.

Prosedur ini juga meliputi "paksaan" menggunakan masker dan sudah seharusnya menjamin penyediaan masker yang mampu mencegah transmisi virus mematikan tersebut di tempat-tempat strategis.

Ancaman SARS tidak akan terjadi jika pemerintah daerah memiliki kebijakan dan landasan hukum yang pasti. Maka, pemerintah daerah harus segera membuat strategy planning untuk mempersiapkan kebijakan mengantisipasi dan menanggulangi SARS. Paling tidak hal ini akan membuang rasa cemas masyarakat Jatim sejenak, setelah dikabarkan TKI dari Ponorogo terjangkit SARS di Hongkong, dan berbagai isu ancaman SARS lainnya di Jatim. Karena, siapa lagi yang akan menjamin rasa aman dan membuat kecemasan menjadi keyakinan selain pemerintahnya?

EDY MUSYADAD, Pemerhati sosial dari Universitas Muhammadiyah Malang
ANNISA FATHA MUBINA, Praktisi medis di Jateng

No comments: