Saturday, July 31, 2004

SARS dan Kecemasan Sosial di Jatim

Kompas, Rabu, 09 April 2003

SARS dan Kecemasan Sosial di Jatim

SINDROM pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) telah memicu kepanikan hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali di Jawa Timur (Jatim). Kecemasan akibat pemberitaan wabah SARS ini membuat warga Jatim memburu masker dan mengonsumsi vitamin serta suplemen tambahan lainnya untuk mengantisipasi wabah SARS ini (Kompas, 7/4).

ANGKA penderita penyakit misterius ini-yang pertama kali ditemukan di pedesaan Cina dan kini telah mewabah di seluruh dunia-bertambah secara cepat dan luas. Pada tanggal 1 April, menurut Departemen Kesehatan, kasus SARS mencapai 1.804 dengan korban meninggal 62 orang dan terjadi di 17 negara. Hari berikutnya, 2 April, SARS telah melanda 2.223 orang, dengan korban meninggal 78 orang dan terjadi di 18 negara. Karena itu, melihat tingkat perkembangannya, kita perlu "cemas" menghadapi situasi seperti ini.

Walaupun ahli mikrobiologi telah mengidentifikasi penyebab SARS, yakni coronavirus, sehingga SARS diubah menjadi corona virus pneumonia (CVP), tetapi belum menemukan obat untuk menyembuhkan SARS. Sebaliknya, penyakit SARS dapat sembuh dengan sendirinya jika orang yang tertular memiliki ketahanan tubuh yang prima, masih muda serta tidak memiliki faktor risiko seperti alergi atau riwayat menderita penyakit paru. Namun, siapa tahu kalau kita sedang memiliki ketahanan tubuh yang kuat seperti itu? Terlebih SARS dengan tingkat penyebaran cepat mewabah menimbulkan risiko kematian yang tinggi.

Maka, rasa cemas ini merupakan ekspresi publik Jatim yang sangat normal. Salah satu daerah yang perlu diwaspadai penyebaran SARS adalah daerah asal tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, dan daerah yang mobilitas orang asingnya tergolong tinggi.

Jatim adalah salah satu daerah penyumbang TKI terbesar dan memiliki mobilitas orang asing yang relatif tinggi karena Surabaya merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia. Jatim merupakan daerah yang padat penduduk dan memiliki pintu masuk internasional, yaitu Bandara Juanda dan Pelabuhan Tanjung Perak sehingga Jatim merupakan daerah yang memiliki potensi sangat besar bagi masuknya wabah SARS. Selain itu, masyarakat Jatim juga rentan terkena SAR karena kondisi kesehatan lingkungan dan derajat kesehatan sosial masyarakat yang masih sangat rendah.

Kecemasan publik yang tidak terkontrol akibat SARS membawa dampak yang berantai. Masyarakat yang mulai melakukan perburuan masker, suplemen tambahan, dan lain-lain, menunjukkan adanya ketidakamanan untuk beraktivitas. Bisa dibayangkan, misalnya SARS telah mewabah di Jatim, di setiap sudut kota orang menggunakan masker; sekolah-sekolah diliburkan, masyarakat menghindari tempat-tempat umum, kota menjadi lengang dan sunyi.

Jika kecemasan terus berlanjut maka akan berkembang menjadi "kemalasan" publik untuk bepergian melakukan aktivitas bisnis maupun sosialnya. Karena itu, dapat dipastikan dunia bisnis dan ekonomi di Jatim akan lesu dan menurun. Jumlah penumpang maskapai penerbangan Garuda rute Surabaya-Singapura (pp) turun lebih dari 50 persen. Ini berarti kehilangan pendapatan (loss opportunity) sekitar Rp 90 juta per hari (Kompas, 4/4).

Melihat kecemasan publik yang melanda Jatim tersebut, dapat dibaca dua hal. Pertama, pemberitaan dunia tentang SARS yang hiperbolik di tengah kecemasan masyarakat dunia menghadapi perang bisa jadi merupakan sebab munculnya kecemasan. Kedua, kecemasan muncul karena tidak adanya informasi yang baik, valid, dan mudah diakses publik tentang SARS ini.

Oleh karena itu, masyarakat kebingungan, yang kemudian mencari-cari informasi sendiri dan memperbicangkan SARS secara berlebihan. Kedua alasan itu bisa jadi saling melengkapi. Namun, apa pun alasannya, jika masyarakat telah melek informasi kondisi kecemasan tidak akan berubah atau mempengaruhi aktivitas ekonomi maupun sosialnya.

Apa sindrom SARS itu?

Bagaimana sebenarnya SARS itu muncul dan kemudian mewabah? SARS pertama kali ditemukan di Provinsi Guangdong, Republik Rakyat Cina. Seorang dokter Cina yang terjangkit penyakit SARS berkunjung ke Hongkong pada bulan Februari. Mereka kemudian menularkan ke Vietnam, Kanada, Singapura, dan kepada orang-orang di Hongkong.

Severe acute respiratory syndrome (SARS) atau corona virus pneumonia (CVP), adalah kasus dugaan (suspect case) di mana seseorang menderita demam di atas 38 derajat Celsius, disertai masalah pernapasan, batuk kering, tenggorokan sakit, sulit bernapas, tersengalsengal, ngilu otot, serta sakit kepala yang disebabkan strain virus baru corona virus, keluarga virus yang bersifat menular yang biasanya menyerang saluran pernapasan atas dan menyebabkan selesma/pilek (common cold).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), SARS menyebar seperti flu atau radang paru, melalui partikel yang melayang di udara atau cairan tubuh. Masa inkubasinya antara dua hingga tujuh hari. Namun, penyakit ini hanya menyerang orang-orang yang langsung dan intens berhubungan dengan mereka yang sakit.

SARS perlu terus diwaspadai karena pneumonia misterius ini belum diketahui penyebabnya. Pneumonia merupakan semacam infeksi yang menyebabkan paru meradang. Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen berkurang. Kekurangan oksigen ini membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja, yang pada akhirnya penderita pneumonia bisa meninggal.

Maka, SARS yang telah menjadi teror bagi derajat kesehatan publik membuat WHO akhir pekan lalu mengeluarkan peringatan global darurat tentang ancaman penyebaran penyakit SARS yang kini telah melanda Asia, Eropa, dan Amerika Utara.

Melihat realitas tersebut, kita tidak boleh lagi menganggap persoalan SARS tersebut sebagai persoalan biasa. Hal ini harus menjadi perhatian serius di Jatim karena melihat potensi SARS yang cepat berkembang di daerah dan risiko kematian yang tinggi akibat penyakit itu. Terlebih secara sosial, mengakibatkan rasa tidak aman dan cemas di kalangan masyarakat Jatim.

Saat ini pemerintah pusat telah resmi menetapkan sindrom pernapasan akut parah (SARS) sebagai salah satu wabah nasional yang patut segera dicegah penyebarannya. Ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/Menkes/SK/IV/2003 tentang Penetapan SARS sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Pedoman Penanggulangannya.

Keputusan tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-Undang No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dan sebagai tindak lanjutnya, pemerintah akan membetuk tim verifikasi wabah di tingkat provinsi.

Melihat Jatim yang rentan dan berpotensi terjangkit SARS sudah seharusnya pemerintah daerah menerjemahkan usaha pemerintah pusat tersebut secara progresif. Maka, yang mendesak saat ini untuk dilakukan adalah adanya pusat informasi (hotline) menyangkut SARS di seluruh pemerintah kota (pemkot) dan pemerintah kabupaten (pemkab). Selain untuk mempermudah kontrol dan mendeteksi kasus SARS di daerah, hotline ini dapat digunakan untuk melakukan koordinasi jika SARS muncul sewaktu-waktu.

Pusat informasi ini sekaligus juga dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi isi UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Karena dalam salah satu pasal UU tersebut menyatakan: "Mengancam orang yang menghalangi dan tidak mau diperiksa dikenakan ancaman 1 tahun penjara. Dan bagi penyebar SARS diancam hukuman 10 tahun penjara". Peraturan ini jika tidak disosialisasikan dengan baik, justru akan menimbulkan masalah baru di masyarakat yang berujung semakin menambah kecemasan sosial.

Kedua, membuat kebijakan antisipatif dengan membatasi (mengontrol), menunda sementara kunjungan ke daerah yang terjangkit SARS. Salah satu prosedur antisipasi itu adalah, penumpang pesawat/kapal dari kota-kota yang diduga ada kasus SARS diberikan kartu kewaspadaan kesehatan (health alert card) karena Surabaya merupakan tempat transit nasional dan internasional.

Prosedur ini juga meliputi "paksaan" menggunakan masker dan sudah seharusnya menjamin penyediaan masker yang mampu mencegah transmisi virus mematikan tersebut di tempat-tempat strategis.

Ancaman SARS tidak akan terjadi jika pemerintah daerah memiliki kebijakan dan landasan hukum yang pasti. Maka, pemerintah daerah harus segera membuat strategy planning untuk mempersiapkan kebijakan mengantisipasi dan menanggulangi SARS. Paling tidak hal ini akan membuang rasa cemas masyarakat Jatim sejenak, setelah dikabarkan TKI dari Ponorogo terjangkit SARS di Hongkong, dan berbagai isu ancaman SARS lainnya di Jatim. Karena, siapa lagi yang akan menjamin rasa aman dan membuat kecemasan menjadi keyakinan selain pemerintahnya?

EDY MUSYADAD, Pemerhati sosial dari Universitas Muhammadiyah Malang
ANNISA FATHA MUBINA, Praktisi medis di Jateng
Read More..

Sapi Perah Itu Bernama Konsumen PDAM

Kompas, Selasa, 23 April 2002

Sapi Perah Itu Bernama Konsumen PDAM

TANPA air manusia menuju proses kematian massal. Namun, jika air menjadi bah yang besar berarti bencana, yang ujung-ujungnya juga kematian. Manusia memerlukan sebuah upaya pengelolaan air agar bermanfaat, tidak kekurangan juga tidak kebanyakan. Maka, adanya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di tiap kota adalah salah satu upaya untuk mengontrol air agar tidak "membunuh". Mengontrol dengan melakukan uji kesehatan; layak minum atau tidak. Lebih jauh adanya PDAM untuk mengelola air agar tidak menjadi komoditas rebutan manusia demi keuntungan sepihak. Tidak merugi, juga tidak merugikan.


Namun, asumsi di atas ternyata "meleset", khususnya dalam kasus PDAM Kota Surabaya. Beberapa hari lalu, Kota Surabaya diributkan oleh air yang dikelola (dimonopoli) oleh PDAM. Dalam uji kesehatan yang dilakukan beberapa laboratorium, air yang dikonsumsi warga kota ternyata tidak layak minum. Kadar bakteri yang terkandung dalam air melebihi standar sehat sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit; artinya bisa "membunuh" 240.000 pelanggannya.

Belum reda polemik layak minum atau tidak, PDAM digunjingkan dengan kebocoran dana Rp 31 milyar (Kompas, 3/4-02). Walaupun belum jelas keterlibatan oknum PDAM dalam kebocoran dana tersebut, bagi publik persoalan ini adalah bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berarti membunuh konsumen yang terus dijadikan sapi perah. Terlebih, kasus hilangnya pipa verrule bantuan Bank Dunia senilai Rp 800 juta yang jelas-jelas melibatkan pimpinan proyek dan sejumlah staf beberapa waktu lalu, mengidentifikasikan adanya persoalan struktural dalam tubuh internal PDAM Surabaya.

Ancaman krisis air

Problem air di Kota Surabaya sebenarnya menjadi persoalan seluruh kota yang memanfaatkan jasa pengelolaan air oleh PDAM. Air telah menjadi barang yang vital dan penting bagi keberlangsungan hidup warga kota. Karena itu, dibutuhkan sebuah manajemen air yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik. Hal ini berangkat dari situasi global eksistensi air yang semakin menipis.

Menurut Population Action International/PAI (Aksi Kependudukan Internasional), dunia akan menghadapi krisis air bersih. Menurut data yang dimiliki PAI, tahun 2000 sekitar 505 juta jiwa penduduk dunia mengalami kesulitan air. Ancaman ini memiliki korelasi yang kuat dengan prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memperkirakan pada tahun 2025 penduduk dunia akan mengalami keterbatasan air bersih. Diperkirakan, krisis air ini akan menimpa hampir sepertiga dari jumlah penduduk dunia (2,3 milyar penduduk) di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia.

Maka, situasi air ke depan bagi penduduk dunia semakin penting dan vital. Krisis air ini terjadi karena pemahaman kita yang keliru mengenai air. Selama ini air dipahami sebagai sumber daya alam yang melimpah ruah dengan melihat kenyataan bahwa bagian terbesar dari planet Bumi ini adalah air. Selain itu, air dianggap sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) sehingga tidak akan habis jika digunakan.

Namun, jika kita melihat data yang dikemukakan oleh Neni Utami Adiningsih tentang konjungtur air di planet kita ini, kita menjadi tahu bahwa krisis air benar-benar menjadi ancaman ke depan bagi warga dunia. Menurut Neni, jumlah total air di Bumi sekitar 1,4 milyar km3. Namun, sebagian besar sekitar 97,25 persennya berupa air laut dan hanya 2,75 persen berupa air tawar. Sebagian besar air tawar itu berbentuk es dan salju (kira-kira 77,3 persen); sebanyak 22,4 persen berupa air dalam tanah; 0,35 persen ada di danau/rawa; 0,04 persen berupa uap air di atmosfer; dan 0,01 persen berupa air sungai. Dari sekian klasifikasi air tersebut, jumlah air yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebenarnya sangat sedikit, yakni tidak lebih dari 0,05 persen.

Dari data itu, dapat disimpulkan bahwa dalam berlimpah ruahnya air di planet Bumi hanya sekian persen yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia. Belum lagi masalah air yang "berkurang" yang diakibatkan oleh kerusakan hutan, pemanasan global, menipisnya daerah resapan, dan lain-lain. Kondisi air ini diperparah dengan pencemaran di sungai dan laut kita akibat kesalahan dalam memanfaatkan air. Catatan M Chusna menyebutkan bahwa sungai di Surabaya sebagian besar telah tercemar. Pengelolaan air yang tidak tepat mengakibatkan kerugian yang sifatnya permanen.

Antisipasi parsial

Problematika air ini harus menjadi persoalan serius saat ini. Karena, selain menghadapi krisis air, kita juga mengalami penurunan kualitas air yang disebabkan pencemaran, penebangan hutan, dan sebagainya. Maka, melihat faktualisasi persoalan air yang kronis itu, seharusnya kita berpikir bersama untuk mengantisipasi krisis tersebut, bukannya mengelola air untuk menghasilkan keuntungan semata. Bagi konsumen, mulai saat ini harus berhemat menggunakan air karena jumlah air yang dapat dimanfaatkan manusia sangat terbatas. Tidak mencemari tanah, sungai, laut, dan udara, sebab dampak pencemaran itu secara tidak langsung mempersempit kemungkinan kita untuk mendapat air yang sehat.

Penanganan air yang parsial hanya akan berujung pada kegagalan sehingga perlu dibangun kesadaran, komitmen, dan kerja sama dengan komponen masyarakat. Namun, usaha publik ini akan sia-sia jika tidak diikuti dengan kebijakan yang pro-air. Implementasi yang konsisten atas kebijakan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan pembangunan yang berbasis lingkungan, seperti penertiban penggunaan air tanah, pelestarian hutan/ penghijauan, pembangunan industri penjernihan air serta instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu, merehabilitasi waduk, membentuk manajemen pengelolaan air bersih yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik.

Melihat dari beragamnya problem air di atas, kasus PDAM Kota Surabaya hanya merupakan persoalan terakhir dari sekian banyak persoalan tentang air. Penggelapan dana Rp 31 milyar, standar air yang tidak layak minum, dan hilangnya pipa merupakan persoalan yang terlihat seperti puncak gunung es. Itu bukan masalah ringan. Justru dari persoalan itu, PDAM, DPRD, pemerintah kota, organisasi masyarakat, dan organisasi nonpemerintah seharusnya mengarahkan persoalan dengan membongkar gunung es (persoalan yang lebih dalam). Membongkar kasus kebocoran di PDAM dan diarahkan kepada pengelolaan air yang holistik dan berkelanjutan. Kasus itu harus memunculkan penyelesaian menyeluruh menyangkut manajemen yang transparan sampai pembuatan kebijakan yang berbasis lingkungan.

Itu artinya, secara tidak langsung kita telah membenarkan adigum act locally, think globally. Menyelesaikan kasys PDAM, sekaligus mengantisipasi krisis air. Tanpa itu, air akan terus menjadi bencana yang berujung pada kematian manusia. Atau paling tidak, telah terjebak dalam "memperebutkan" air. Konsekuensinya, menumpuk keuntungan sepihak dengan membunuh pihak lain.

* EDY MUSYADAD Pemerhati Lingkungan Universitas Muhammadiyah Malang

Read More..

Persoalan TKI Asal Jatim Bisa Meledak

Kompas, Sabtu, 10 Agustus 2002

Persoalan TKI Asal Jatim Bisa Meledak

MINGGU terakhir ini, Provinsi Jawa Timur (Jatim) kembali mendapat tantangan persoalan yang pelik. Belum tuntas kontroversi tentang pemecatan Wali Kota Surabaya, daerah kemiskinan yang menjamur, Jatim kembali dibebani persoalan pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Malaysia.


Jumlah TKI ilegal yang dipulangkan dari Malaysia itu menurut Direktorat Jenderal Mobilitas Penduduk (Dirjen Mobduk) Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi (Depnakertrans) yang sudah tiba di Indonesia mencapai sekitar 250.000 orang, sementara di Malaysia masih ada sekitar 100.000 orang yang menunggu proses kepulangan ke Tanah Air. Sebagian besar berasal dari provinsi Jateng dan Jatim.

Mengapa Jatim menduduki peringkat fantastis sebagai daerah penyumbang TKI? Hal itu disebabkan masih banyaknya daerah miskin, dari 30 lebih kabupaten di Jatim, 22 kabupaten di antaranya adalah daerah kantung kemiskinan, seperti di antaranya Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Banyuwangi, dan Kabupaten Malang. Kabupaten Trenggalek Tulung Agung dan Kabupaten Malang merupakan kantung TKI di Jatim. Maka, melihat data TKI tersebut dapat disimpulkan bahwa Jatim meyimpan persoalan TKI yang siap meledak kapan saja, seperti saat ini.

Persoalan TKI merupakan benang kusut yang rumit. Hal ini misalnya dapat dibaca dari alur perjalanan TKI. "Mereka" (sistem, hukum, dan lain-lain) selalu menempatkan TKI dalam posisi lemah dan terjepit. Di desa-desa, para calon TKI direkrut oleh calo dengan keharusan membayar sejumlah uang; ditampung di tempat penampungan dengan perlakuan kurang manusiawi; tiba di negeri tujuan para TKI tidak mengetahui hak dan kewajibannya; perlakuan majikan yang sering melampaui batas kemanusiaan; perlakuan konsulat dan kedutaan yang kurang baik; perusahaan jasa TKI (PJTKI) yang saling lempar tanggung jawab jika ada TKI bermasalah. Setelah beberapa tahun kembali ke Tanah Air, TKI diperlakukan sebagai manusia kelas kedua, di bandara diperas dan mengalami berbagai persoalan lainnya.

Melihat problematika TKI tersebut, kita semakin pesimistis, terlebih jika menengok angka statistik menyangkut TKI kita. Data yang dimiliki oleh Konsorsium Pembelaan Buruh Migran Indonesia (Kopbumi), selama bulan Januari-April 2001 terjadi 1.714.522 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap TKI.

Dari jumlah tersebut, tercatat 10 orang meninggal saat bekerja dan 69 orang lagi mengalami pemerkosaan dan penganiayaan. Sedangkan LSM Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) mencatat selama Januari-April 2001 di Malaysia tercatat 1,5 juta buruh tidak berdokumen, 14.000 dipenjara, 120.000 dideportasi, 32.000 diberhentikan, dan 6.288 orang ditangkap.

Kewajiban negara

Faktualisasi problematik buruh migran dalam angka tersebut tidak semata-mata otonom dan di luar konteks sistem kita yang telah terbangun. Tetapi, sangat korelasional dengan berbagai hal yang ada di dalam negeri, salah satunya adalah tata hukum kita yang belum melindungi buruh migran.

Maka, upaya mendesak negara untuk segera membuat payung hukum perlindungan buruh migran semakin penting. Indonesia yang termasuk sebagai pengirim buruh migran terbesar ke luar negeri, sampai saat ini belum meratifikasi konvensi internasional PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya (UN Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families 1990).

Saat ini baru 11 negara-di Asia baru Malaysia dan Sri Lanka-yang meratifikasi konvensi tentang perlindungan buruh migran tersebut. Padahal, konvensi itu berlaku kalau sudah ditandatangani oleh 20 negara. Maka, mau tidak mau pemerintah harus membuat undang-undang yang melindungi buruh migran. Jika kewajiban negara tersebut dilakukan dengan setengah-setengah-tidak adanya payung hukum yang kuat dan berkeadilan-tentu saja hak warga negara (buruh migran) untuk mendapat perlindungan, pekerjaan yang layak seperti dijamin dalam UUD 1945 tidak pernah terwujud.

Penghapusan dan perlindungan buruh migran bagi Indonesia masih sulit dilakukan karena masih bergelut dengan masalah yang lebih mendasar, yakni persoalan ekonomi dan perubahan sosial politik. Buruh migran sendiri dalam kategori historis sangat relasional dengan problem kemiskinan negara.

Data yang disampaikan sebuah LSM, melalui buruh migran yang bekerja di Arab Saudi saja pada tahun 1994-1997 tercatat sekitar satu milyar dollar AS dari total devisa negara secara keseluruhan yang 2.684.035.741 dollar AS. Angka yang luar biasa tentang pemasukan devisa tidak serta merta membawa kondisi yang menggembirakan bagi para TKI.

Problematika TKI yang integral dengan wacana kemiskinan tersebut dapat dipastikan tidak terselesaikan dalam waktu dekat.

Maka, ketika negara mengabaikan kewajibannya (state obligation) dalam hal pemajuan (to promote), pemantauan (to monitor), dan perlindungan (to protect) buruh migran, kita tidak dapat berpangku tangan begitu saja melihat situasi sosial buruh migran saat ini. Sudah saatnya berbagai organisasi sosial, ornop, dan masyarakat luas yang menjadikan buruh migran sebagai isu bersama untuk menentukan agenda menghentikan perdagangan manusia (trafficking) dengan membuat strategy planning menyangkut persoalan buruh migran ini.

EDDY MUSYADAD Pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan peneliti pada organisasi nonpemerintah (ornop) Lentera Foundation Malang

Read More..

Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota

Kompas, Rabu, 28 Mei 2003

Menyambut Hari Jadi Ke-710 Kota Surabaya
Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota

PENERTIBAN dan penataan pedagang kaki lima (PKL) kembali dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, khususnya PKL Bungurasih, pada tanggal 22 Mei 2003. Sebelumnya, penertiban PKL dilakukan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menata kembali keberadaan PKL agar tidak merugikan masyarakat dan konsumen.


PROBLEMATIKA PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa di Surabaya tidak bisa "bersih" dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih rumit.

PEDAGANG kaki lima (PKL), bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO), reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka, terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini.

Menariknya, realitas kaum pinggiran di kota-kota besar ini mengalami situasi yang sama, yakni penertiban. Di Surabaya, bulan Februari 2002, misalnya, langkah penertiban dilakukan Pemkot Surabaya terhadap ratusan bangunan permanen, semipermanen, dan bangunan sementara dengan melakukan penggusuran tanpa ganti rugi.

Saat itu sempat terjadi kericuhan karena adanya warga yang menentang penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan artefak kota yang saat ini mengalami "pembusukan" (tidak diakui).

Memang, persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat.

Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemkot Surabaya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu, kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak.

Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan (sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda) dalam mengatur, menata, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan pada pemkot.

Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan.

Dalam strategy planning akan memunculkan pola dan karakter persoalan di perkotaan yang fundamental (the rooted problem of urban). Maka, strategy planning dalam membangun tata kota seharusnya merupakan langkah pertama dalam melihat dan menyelesaikan masalah PKL ini.

PKL yang menjadi fenomena perkotaan merupakan persoalan yang "dimunculkan" oleh persoalan lain yang lebih besar, yakni kemiskinan. PKL hanya merupakan ekses dari kemiskinan kronis di perkotaan, yang justru merupakan upaya survive (bertahan) warga kota dari cengkeraman kemiskinan tersebut.

Menurut James Petras, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal.

Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.

Selain itu, seperti kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan.

Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah).

Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.

Dalam kaitan itu, fenomena PKL harus dilihat sebagai akibat dari kejahatan sistem yang menelurkan kemiskinan yang kronis dan struktural. Efek dari kemiskinan ini akan memupuk etika machiavelis dalam upaya mempertahankan hidup dengan berbagai cara sehingga dalam kultur kemiskinan ini, frekuensi kekerasan akan meningkat. Hal ini terbukti di Solo, Semarang, Yogyakarta, dan kota lain yang beberapa waktu lalu sempat memunculkan keresahan dan kekerasan akibat dari persoalan PKL tersebut.

Lemahnya pemkot dalam strategi penanganan ini (tidak memiliki strategy planning), mengakibatkan usaha yang diambil sebatas karitatif, bukan persoalan fundamental yang menyelimuti fenomena PKL. Penertiban PKL ini hanya sebatas menyelesaikan persoalan pucuk gunung es yang tampak.

Situasi perekonomian kita yang berantakan, di mana pertumbuhan ekonomi masih rendah sedangkan pengangguran bertambah, tindakan penataan kaum pinggiran yang dalam realitasnya adalah penggusuran dan penghilangan peluang usaha, justru mendekatkan pada krisis baru.

Oleh karena itu, dalam menata PKL, mau tidak mau, Pemkot Surabaya harus membuat strategy planning yang komperehensif dan berkelanjutan serta berbasis keadilan. Persoalan PKL bukan semata persoalan sosial biasa, melainkan menyangkut struktur yang tidak adil. Karena itu, solusinya bukan kebijakan karitatif semata. Selain itu, Pemkot Surabaya harus mengganti paradigma penataan kaum pinggiran dari penguasaan kepada pengaturan yang berbasis kesejahteraan dan keadilan.

Tanpa melihat konteksnya, problematika PKL akan menjadi bumerang bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. Pertanyaannya sekarang, kapan Pemkot Surabaya mengubah paradigma dalam penataan PKL tersebut? Atau jangan-jangan Pemkot Surabaya justru "menikmati" langkah penertiban PKL. Sementara warganya banyak yang kehilangan peluang kerja?

EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan aktivis LSM di Jawa Timur
Read More..

Warga NU Butuh Voter Education

Suara Merdeka, Jumat, 07 Mei 2004

Warga NU Butuh Voter Education
Oleh: M Hasyim dan E Musyadad

EKSISTENSI Nahdlatul Ulama (NU) sepertinya tidak akan lapuk di makan usia. Tetapi ibarat pohon yang sudah berumur, NU telah menjulang tinggi sehingga angin menerpa dari kanan-kiri. Tentunya angin yang menggoyang semakin kencang dan potensial untuk merubuhkan pohon. NU sebagai sebuah organisasi masyarakat, mau tidak mau dihadapkan pada perubahan politik dan harus memasang kuda-kuda untuk menahan gempuran tersebut agar tidak rubuh.


Memang, menjelang pemilihan presiden, tensi politik internal NU semakin kuat. Terlebih ketika tokoh-tokoh politik nasional gencar bergerilya ke basis NU. Warga NU yang tersebar di berbagai wilayah Nusantara menyimpan suara yang besar. Aliran kunjungan politik ke kantong nahdliyyin menandai NU menjadi objek potensial bagi politikus.

Jika dilihat dari strategi politik, kunjungan ini merupakan sebuah keniscayaan, karena selain suara yang berlimpah, tradisi politik nahdliyyin masih patron klien dan warganya belum "melek" politik sepenuhnya.

Salah satu yang dapat dibaca dalam fenomena ini tidak lain adalah munculnya keinginan menjadikan NU sebagai pohon rindang untuk meraup suara dan mendapat dukungan. Hal yang sama terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana NU selalu digandeng, tetapi pasca kepentingan politik terpenuhi, NU menjadi batu sandungan yang dieliminasi dalam ruang politik.

Tidak hanya sekali dua kali, setiap bangsa ini membutuhkan perubahan, NU selalu menjadi salah satu "pandita" yang memutuskan. Namun, untuk sekian kalinya umat NU tidak mendapatkan apa-apa dari perubahan politik tersebut.

Beberapa Kepentingan

Dapat dikatakan ada kepentingan dalam masyarakat NU yang saling tumpang tindih. Di satu sisi, sejarah partisipasi NU yang dimanfaatkan untuk kepentingan praktis, di sisi lain kebutuhan untuk mengamankan kepentingan umatnya dalam mengembangkan budaya pluralis.

NU menempatkan dirinya sebagai organisasi masyarakat sipil yang lebih mengurusi persoalan keagamaan, sosial, pendididikan, dan perekonomian.

Namun, realitas tersebut sangat tidak bermanfaat bagi perkembangan umat yang membutuhkan kepastian sikap. Karena tidak dapat dipungkiri warga NU belum sepenuhnya melek politik, masih ada sebagian warganya yang mengedepankan sikap patron client dalam berekspresi, di mana para pemimpinnya merupakan patron mati yang tidak dapat diganggu gugat, sehingga jika mereka mengatakan A, maka umat NU tidak akan berkata apa pun selain A tersebut.

Dalam momentum pemilihan presiden nanti, penting kiranya NU membuat kebijakan strategis dalam pertemuan ulama NU. Yang dibutuhkan bukanlah taushiyah (wasiat) yang mengarahkan aspirasi politik umat, tetapi mekanisme yang mencerdaskan umat untuk menjadi pemilih kritis, yakni melakukan voter education bagi warganya yang selama ini belum melek politik.

Kenapa voter education , bukan taushiyah?

Taushiyah sifatnya tidak mendidik kritis bagi umat, karena justru melakukan birokratisasi aspirasi. Padahal aspirasi sendiri merupakan hak yang paling esensial dan tidak boleh diseragamkan secara paksa. Kalau pertemuan nanti mengerucut menjadi usaha membangun keseragaman suara bagi umat NU, maka pertemuan tersebut tidak ubahnya menyalahi prinsip demokrasi dan pluralisme yang selama ini digagas NU.

Sedangkan voter education dapat merubah patron klien menjadi aspirasi cerdas-kritis, sehingga warga NU dapat berkata "menolak calon presiden busuk".

Voter education juga bisa teraplikasikan dalam outline organisasi, misalnya melarang pengurus terlibat urusan politik praktis.

Outline ini juga menjadi gambaran dalam mempertajam sikap NU menjadi kekuatan yang menggerakkan kekuatan politik informalnya untuk beroposisi terhadap negara dengan memberikan catatan, evaluasi sekaligus kritik meskipun pemimpin yang terpilih adalah kader NU.

Pilihan voter education akan menempatkan NU sebagai ormas yang konsisten pada khittah. (29)

-M Hasyim, Direktur Lakpesdam NU Jombang, E Musyadad, alumnus Ponpes Tebuireng, Jombang

Read More..