Saturday, July 31, 2004

Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota

Kompas, Rabu, 28 Mei 2003

Menyambut Hari Jadi Ke-710 Kota Surabaya
Kesejahteraan PKL Versus Kesejahteraan Kota

PENERTIBAN dan penataan pedagang kaki lima (PKL) kembali dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, khususnya PKL Bungurasih, pada tanggal 22 Mei 2003. Sebelumnya, penertiban PKL dilakukan di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Hal itu dilakukan untuk menata kembali keberadaan PKL agar tidak merugikan masyarakat dan konsumen.


PROBLEMATIKA PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa di Surabaya tidak bisa "bersih" dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih rumit.

PEDAGANG kaki lima (PKL), bangunan tanpa izin, izin gangguan (HO), reklame, anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, kini telah menjadi fenomena sosial di setiap kota besar. Bahkan, realitas tersebut dapat dikatakan sebagai artefak kota yang tercipta untuk mengisi ruang-ruang "kosong" yang ada. Maka, terasa aneh dan janggal jika kota tidak menyediakan ikon-ikon budaya yang direpresentasikan dalam fenomena perkotaan ini.

Menariknya, realitas kaum pinggiran di kota-kota besar ini mengalami situasi yang sama, yakni penertiban. Di Surabaya, bulan Februari 2002, misalnya, langkah penertiban dilakukan Pemkot Surabaya terhadap ratusan bangunan permanen, semipermanen, dan bangunan sementara dengan melakukan penggusuran tanpa ganti rugi.

Saat itu sempat terjadi kericuhan karena adanya warga yang menentang penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan artefak kota yang saat ini mengalami "pembusukan" (tidak diakui).

Memang, persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat.

Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemkot Surabaya lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu, kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak.

Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan (sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda) dalam mengatur, menata, sekaligus memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan pada pemkot.

Pola penanganan PKL yang ada di perkotaan hendaknya tidak menggunakan kepentingan politik sesaat karena tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkannya. Penekanan terhadap tata ruang kota yang indah dan teratur juga harus mempertimbangkan kesejahteraan kaum pinggiran. Karena itu, dibutuhkan sebuah strategy planning yang berbasis kesejahteraan rakyat dan yang berkeadilan.

Dalam strategy planning akan memunculkan pola dan karakter persoalan di perkotaan yang fundamental (the rooted problem of urban). Maka, strategy planning dalam membangun tata kota seharusnya merupakan langkah pertama dalam melihat dan menyelesaikan masalah PKL ini.

PKL yang menjadi fenomena perkotaan merupakan persoalan yang "dimunculkan" oleh persoalan lain yang lebih besar, yakni kemiskinan. PKL hanya merupakan ekses dari kemiskinan kronis di perkotaan, yang justru merupakan upaya survive (bertahan) warga kota dari cengkeraman kemiskinan tersebut.

Menurut James Petras, kemiskinan di perkotaan tidak lebih dari wajah negara berkembang yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme global. Menurut dia, kapitalisme telah menjadikan negara ketiga sebagai medan pasar yang potensial dengan didirikannya suprastruktur dan infrastruktur yang marketable. Berdirinya pusat perbelanjaan-salah satunya-merupakan upaya menyedot pasar yang dimiliki oleh pedagang lokal.

Lembaga kapitalisme yang berdiri di pusat kota tersebut menumbuhkan ilusi sosial dengan berbagai potongan harga, hadiah dan sebagainya, yang pada akhirnya menyingkirkan pasar lokal yang dimiliki oleh kaum pinggiran. Perpindahan pasar dari lokal menuju global dengan berbagai ilusi ini mengakibatkan ekonomi masyarakat kota linier dan stabil.

Selain itu, seperti kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru perkotaan.

Dari situsai kemiskinan ini muncullah PKL, gelandangan, pengemis, anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah).

Dalam kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga "pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi konsekuensi logisnya.

Dalam kaitan itu, fenomena PKL harus dilihat sebagai akibat dari kejahatan sistem yang menelurkan kemiskinan yang kronis dan struktural. Efek dari kemiskinan ini akan memupuk etika machiavelis dalam upaya mempertahankan hidup dengan berbagai cara sehingga dalam kultur kemiskinan ini, frekuensi kekerasan akan meningkat. Hal ini terbukti di Solo, Semarang, Yogyakarta, dan kota lain yang beberapa waktu lalu sempat memunculkan keresahan dan kekerasan akibat dari persoalan PKL tersebut.

Lemahnya pemkot dalam strategi penanganan ini (tidak memiliki strategy planning), mengakibatkan usaha yang diambil sebatas karitatif, bukan persoalan fundamental yang menyelimuti fenomena PKL. Penertiban PKL ini hanya sebatas menyelesaikan persoalan pucuk gunung es yang tampak.

Situasi perekonomian kita yang berantakan, di mana pertumbuhan ekonomi masih rendah sedangkan pengangguran bertambah, tindakan penataan kaum pinggiran yang dalam realitasnya adalah penggusuran dan penghilangan peluang usaha, justru mendekatkan pada krisis baru.

Oleh karena itu, dalam menata PKL, mau tidak mau, Pemkot Surabaya harus membuat strategy planning yang komperehensif dan berkelanjutan serta berbasis keadilan. Persoalan PKL bukan semata persoalan sosial biasa, melainkan menyangkut struktur yang tidak adil. Karena itu, solusinya bukan kebijakan karitatif semata. Selain itu, Pemkot Surabaya harus mengganti paradigma penataan kaum pinggiran dari penguasaan kepada pengaturan yang berbasis kesejahteraan dan keadilan.

Tanpa melihat konteksnya, problematika PKL akan menjadi bumerang bagi pembangunan Kota Surabaya ke depan. Pertanyaannya sekarang, kapan Pemkot Surabaya mengubah paradigma dalam penataan PKL tersebut? Atau jangan-jangan Pemkot Surabaya justru "menikmati" langkah penertiban PKL. Sementara warganya banyak yang kehilangan peluang kerja?

EDY MUSYADAD pemerhati sosial Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan aktivis LSM di Jawa Timur

No comments: