Saturday, July 31, 2004

Sapi Perah Itu Bernama Konsumen PDAM

Kompas, Selasa, 23 April 2002

Sapi Perah Itu Bernama Konsumen PDAM

TANPA air manusia menuju proses kematian massal. Namun, jika air menjadi bah yang besar berarti bencana, yang ujung-ujungnya juga kematian. Manusia memerlukan sebuah upaya pengelolaan air agar bermanfaat, tidak kekurangan juga tidak kebanyakan. Maka, adanya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di tiap kota adalah salah satu upaya untuk mengontrol air agar tidak "membunuh". Mengontrol dengan melakukan uji kesehatan; layak minum atau tidak. Lebih jauh adanya PDAM untuk mengelola air agar tidak menjadi komoditas rebutan manusia demi keuntungan sepihak. Tidak merugi, juga tidak merugikan.


Namun, asumsi di atas ternyata "meleset", khususnya dalam kasus PDAM Kota Surabaya. Beberapa hari lalu, Kota Surabaya diributkan oleh air yang dikelola (dimonopoli) oleh PDAM. Dalam uji kesehatan yang dilakukan beberapa laboratorium, air yang dikonsumsi warga kota ternyata tidak layak minum. Kadar bakteri yang terkandung dalam air melebihi standar sehat sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penyakit; artinya bisa "membunuh" 240.000 pelanggannya.

Belum reda polemik layak minum atau tidak, PDAM digunjingkan dengan kebocoran dana Rp 31 milyar (Kompas, 3/4-02). Walaupun belum jelas keterlibatan oknum PDAM dalam kebocoran dana tersebut, bagi publik persoalan ini adalah bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berarti membunuh konsumen yang terus dijadikan sapi perah. Terlebih, kasus hilangnya pipa verrule bantuan Bank Dunia senilai Rp 800 juta yang jelas-jelas melibatkan pimpinan proyek dan sejumlah staf beberapa waktu lalu, mengidentifikasikan adanya persoalan struktural dalam tubuh internal PDAM Surabaya.

Ancaman krisis air

Problem air di Kota Surabaya sebenarnya menjadi persoalan seluruh kota yang memanfaatkan jasa pengelolaan air oleh PDAM. Air telah menjadi barang yang vital dan penting bagi keberlangsungan hidup warga kota. Karena itu, dibutuhkan sebuah manajemen air yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik. Hal ini berangkat dari situasi global eksistensi air yang semakin menipis.

Menurut Population Action International/PAI (Aksi Kependudukan Internasional), dunia akan menghadapi krisis air bersih. Menurut data yang dimiliki PAI, tahun 2000 sekitar 505 juta jiwa penduduk dunia mengalami kesulitan air. Ancaman ini memiliki korelasi yang kuat dengan prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memperkirakan pada tahun 2025 penduduk dunia akan mengalami keterbatasan air bersih. Diperkirakan, krisis air ini akan menimpa hampir sepertiga dari jumlah penduduk dunia (2,3 milyar penduduk) di lebih dari 40 negara, termasuk Indonesia.

Maka, situasi air ke depan bagi penduduk dunia semakin penting dan vital. Krisis air ini terjadi karena pemahaman kita yang keliru mengenai air. Selama ini air dipahami sebagai sumber daya alam yang melimpah ruah dengan melihat kenyataan bahwa bagian terbesar dari planet Bumi ini adalah air. Selain itu, air dianggap sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui (renewable resources) sehingga tidak akan habis jika digunakan.

Namun, jika kita melihat data yang dikemukakan oleh Neni Utami Adiningsih tentang konjungtur air di planet kita ini, kita menjadi tahu bahwa krisis air benar-benar menjadi ancaman ke depan bagi warga dunia. Menurut Neni, jumlah total air di Bumi sekitar 1,4 milyar km3. Namun, sebagian besar sekitar 97,25 persennya berupa air laut dan hanya 2,75 persen berupa air tawar. Sebagian besar air tawar itu berbentuk es dan salju (kira-kira 77,3 persen); sebanyak 22,4 persen berupa air dalam tanah; 0,35 persen ada di danau/rawa; 0,04 persen berupa uap air di atmosfer; dan 0,01 persen berupa air sungai. Dari sekian klasifikasi air tersebut, jumlah air yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebenarnya sangat sedikit, yakni tidak lebih dari 0,05 persen.

Dari data itu, dapat disimpulkan bahwa dalam berlimpah ruahnya air di planet Bumi hanya sekian persen yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia. Belum lagi masalah air yang "berkurang" yang diakibatkan oleh kerusakan hutan, pemanasan global, menipisnya daerah resapan, dan lain-lain. Kondisi air ini diperparah dengan pencemaran di sungai dan laut kita akibat kesalahan dalam memanfaatkan air. Catatan M Chusna menyebutkan bahwa sungai di Surabaya sebagian besar telah tercemar. Pengelolaan air yang tidak tepat mengakibatkan kerugian yang sifatnya permanen.

Antisipasi parsial

Problematika air ini harus menjadi persoalan serius saat ini. Karena, selain menghadapi krisis air, kita juga mengalami penurunan kualitas air yang disebabkan pencemaran, penebangan hutan, dan sebagainya. Maka, melihat faktualisasi persoalan air yang kronis itu, seharusnya kita berpikir bersama untuk mengantisipasi krisis tersebut, bukannya mengelola air untuk menghasilkan keuntungan semata. Bagi konsumen, mulai saat ini harus berhemat menggunakan air karena jumlah air yang dapat dimanfaatkan manusia sangat terbatas. Tidak mencemari tanah, sungai, laut, dan udara, sebab dampak pencemaran itu secara tidak langsung mempersempit kemungkinan kita untuk mendapat air yang sehat.

Penanganan air yang parsial hanya akan berujung pada kegagalan sehingga perlu dibangun kesadaran, komitmen, dan kerja sama dengan komponen masyarakat. Namun, usaha publik ini akan sia-sia jika tidak diikuti dengan kebijakan yang pro-air. Implementasi yang konsisten atas kebijakan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan pembangunan yang berbasis lingkungan, seperti penertiban penggunaan air tanah, pelestarian hutan/ penghijauan, pembangunan industri penjernihan air serta instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu, merehabilitasi waduk, membentuk manajemen pengelolaan air bersih yang profesional, efisien (bebas KKN), dan berbasis keuntungan publik.

Melihat dari beragamnya problem air di atas, kasus PDAM Kota Surabaya hanya merupakan persoalan terakhir dari sekian banyak persoalan tentang air. Penggelapan dana Rp 31 milyar, standar air yang tidak layak minum, dan hilangnya pipa merupakan persoalan yang terlihat seperti puncak gunung es. Itu bukan masalah ringan. Justru dari persoalan itu, PDAM, DPRD, pemerintah kota, organisasi masyarakat, dan organisasi nonpemerintah seharusnya mengarahkan persoalan dengan membongkar gunung es (persoalan yang lebih dalam). Membongkar kasus kebocoran di PDAM dan diarahkan kepada pengelolaan air yang holistik dan berkelanjutan. Kasus itu harus memunculkan penyelesaian menyeluruh menyangkut manajemen yang transparan sampai pembuatan kebijakan yang berbasis lingkungan.

Itu artinya, secara tidak langsung kita telah membenarkan adigum act locally, think globally. Menyelesaikan kasys PDAM, sekaligus mengantisipasi krisis air. Tanpa itu, air akan terus menjadi bencana yang berujung pada kematian manusia. Atau paling tidak, telah terjebak dalam "memperebutkan" air. Konsekuensinya, menumpuk keuntungan sepihak dengan membunuh pihak lain.

* EDY MUSYADAD Pemerhati Lingkungan Universitas Muhammadiyah Malang

No comments: