Monday, October 25, 2010

PILKADA: BUPATI DAN PARPOL DISANDERA BANDAR


PILKADA: BUPATI DAN PARPOL DISANDERA BANDAR
Penulis adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan Desa Mandiri (PUNDEN) Nganjuk
Dimuat pada Bulletin SADAR Edisi: 283 Tahun VI – 2010, Prakarsa-Rakyat.org

Pemilihan Bupati Kediri periode 2010 – 2015 menjadi perbincangan. Karena dua istrinya maju menjadi kandididat calon bupati. Haryanti sebagai istri pertama sudah “berkuasa” hampir 10 tahun sebagai ketua penggerak PKK Kabupaten Kediri. Sementara, Nurlaila adalah Kepala Desa Wates selama kurang lebih 20 tahun (3 periode). Dua istri bupati incumbent ini akan bersaing dengan calon ketiga, yakni Sunardi, Direktur PT. BISI, sebuah perusahaan benih pertanian yang sering mengkriminalisasi petani di wilayah Kabupaten Kediri dan Kabupaten sekitarnya. Semua kandidat datang dari warga negara yang statusnya orang kaya.


Di Lampung Selatan, artis Ikang Fauzi juga akan maju sebagai kandididat calon bupati. Di Ngawi, artis Ratih Sanggarwati sudah menyiapkan Rp. 5 miliar untuk meraih simpati demi kursi bupati. Banyak artis lain juga maju sebagai kandidat calon bupati dan walikota. Intinya, mereka yang muncul sebagai kandidat adalah orang kaya di Indonesia yang jumlahnya hanya sekitar 17 persen dari total penduduk Indonesia. Namun dari segelintir itulah yang akan menentukan 83 persennya dari sisanya. Dan orang-orang kaya itu akan bersaing di berbagai kabupaten yang tersebar di Indonesia. Karena, tahun 2010 ini, pemerintah akan melaksanakan 246 pemilihan kepala daerah (pilkada) di seluruh wilayah Indonesia.

Nah, apa yang akan diperbuat orang-orang kaya tersebut terhadap suara orang miskin yang akan memilihnya? Yang jelas, praktis saja. Bagaimana suara kaum miskin utuh dikonversikan menjadi suara sah. Caranya? Tentunya ada cara yang praktis pula untuk mengendalikan kaum miskin. Uang, uang dan uang. Karena di tengah himpitan kemiskinan, uang menjadi “surga” sesaat bagi miskin.

Ideologi Uang

Pemilihan kepala desa (pilkades) konon dianggap sebagai arena demokrasi yang paling nyata di desa. Dalam pilkades terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote. Tetapi dalam banyak desa, pilkades yang berlangsung secara demokratis sering harus dibayar dengan resiko politik yang mahal. Politik uang menjadi fenomena nyata di pilkades. Sehingga, tidak ada partisipasi rakyat dalam pilkades yang ada mobilisasi rakyat. Kalaupun bukan calon atau kandidat yang memiliki uang, bandarlah yang menggerakkan rakyat dengan uang untuk datang ke tempat pemilihan.

Fenomena ini sekarang dirasakan juga dalam pilkada. Partisipasi dalam proses demokrasi pilkada rasanya hambar. Kalaupun ada, partisipasi itu telah diracuni dengan uang sehingga yang muncul bukan partisipasi melainkan mobilisasi. Pilkada menghidupkan kembali tradisi buruk dalam Pilkades yaitu sindroma bandar.

Biaya untuk jadi bupati konon mulai Rp 5 miliar sampai Rp 25 miliar. Sehingga, bagi calon bupati yang ingin jadi kandidat tetapi tidak cukup dana, ada bandar yang bisa membantu pendanaan. Bandar ini tidak hanya bertaruh untuk kemenangan calon pilihannya (seperti pejudi pada umumnya), tetapi mereka melakukan apa saja dengan menggunakan kekuatan uangnya agar calon yang didukung menang. Tentunya jika calonnya menang dia bisa “menyetir” bupati yang jadi, agar kepentingannya aman.

Posisi bupati dan bandar dalam pilkada ini sebenarnya dihimpit oleh keberadaan partai politik (parpol). Parpol berperan strategis dalam proses demokrasi di daerah, karena parpol menjadi aktor yang bisa memunculkan calon bupati. Karena kandidat calon bupati harus memperoleh dukungan parpol yang menguasai 15% kursi di DPRD. Di sinilah masalah bagi calon yang tidak ditopang oleh uang. Untuk mendapatkan persetujuan partai politik, berbagai proses di berbagai tingkat harus dilewati calon bupati. Calon bupati harus meyakinkan pimpinan partai lokal sampai ke tingkat DPP. Akibatnya, proses ini menjadi sangat elitis dan hanya orang berduit yang punya peluang untuk ikut serta. Sehingga, secara kasar bisa dikatakan jika parpol saat ini menjadi “makelar” semata perannya akibat adanya dominasi uang yang dikendalikan oleh bandar. Disebut “makelar” karena yang muncul sebagai kandidat bupati bukan kadernya, bukan dari daerah asal bukan orang yang bersih, tetapi orang yang hanya punya duit saja. Dan di banyak daerah parpol memperjuangkan orang-orang seperti ini.

Maka, partisipasi sebagai indikator bahwa demokrasi lokal berjalan sesuai dengan track-nya ternyata kamuflase. Demokrasi saat ini dihadapkan pada konsentrasi kekuatan ekonomi yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Kasus di Kabupaten Kediri menujukkan bahwa suaminya (orang berduit) menjadi bandar bagi istri-istrinya untuk sebuah kepentingan dinasti kepemimpinan lokal. Sedangkan parpol di Kabupaten Kediri hanya menjadi “makelar” yang secara sah bisa meloloskan dari seleksi administrasi. Dan ini berlaku juga di 246 kabupaten lain yang akan menjalankan pilkada.

Maka, pilkada di 246 kabupaten dan kota berpotensi dipimpin dan dikendalikan oleh kekuatan “uang untuk mendapatkan uang” bukan dikendalikan oleh kekuatan “rakyat untuk kemakmuran rakyat.” Rasanya pilkada sudah menjadi proses demokrasinya orang kaya, dan mereka hanya membutuhkan partisipasi (mobilisasi) orang miskin. Dan jika proses demokrasi lokal selalu saja dibajak dengan uang, tentunya rakyat akan terus teralienasi dari kepentingannya untuk menuju kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan. Inilah pembelajaran penting dalam demokrasi lokal saat ini. Bahwa dalam demokrasi kita, ada yang salah, demokrasi kita sedang sakit.

No comments: