Sunday, August 13, 2006

URGENSI MEMBANGUN KOMISI TRANSPORTASI DAERAH

URGENSI MEMBANGUN KOMISI TRANSPORTASI DAERAH
Oleh : E. Musyadad
Penulis adalah Peneliti Transportasi Yayasan Madani Jombang (Yamajo)
Kompas Jatim, 29 Oktober 2004

SEBAGAI konsekuensi pemberlakukan otonomi, kewenangan yang dulu hanya dikuasai oleh pemerintah pusat, kini telah didistribusikan ke daerah. Sehingga, sudah lama pemerintahan daerah mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menetapkan kebijakan yang terbaik bagi masyarakatnya, termasuk persoalan transportasi. Namun, setelah lima tahun diberlakukan otonomi, kenapa tidak muncul perubahan yang lebih baik dalam transportasi. Justru, kita melihat kendaraan di jalan raya yang tidak teratur, semrawut, berjubel dan potensi kecelakaan semakin membesar. Singkatnya, telah terjadi penurunan jumlah angkutan umum dan jalan diisi oleh kendaraan pribadi yang berkembang pesat dari roda empat hingga sepeda motor.


Faktualisasi peningkatan kendaraan pribadi dan menurunnya kendaaraan umum ini membawa dampak yang beraneka ragam. Pertama, peran monitoring dan kontrol yang semakin sulit dilakukan. Kedua, kendaraan pribadi lebih banyak membutuhkan ruang lebih lebar, sehingga jalan menjadi padat dan ramai. Ketiga, situasi jalan yang padat ini mengakibatkan potensi angka kecelakaan semakin tinggi. Keempat, banyaknya kendaraan merupakan sikap kita yang tidak hemat energi. Sedangkan kita tahu, energi yang digunakan dalam dunia transportasi merupakan energi yang tidak dapat diperbaruhi. Kelima, selain itu polusi menjadi persoalan yang tidak dapat dihindari. Keenam, kebijakan transportasi tidak lagi memperhatikan kelompok miskin yang tidak memiliki akses.
Konsep “Jalan untuk Manusia”
Dampak-dampak yang muncul ini kemudian memunculkan pertanyaan apa sebenarnya yang salah dalam proses otonomi. Setelah daerah diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan sendiri, kenapa tidak muncul inisiatif daerah untuk mengangkat, melindungi dan menyejahterakan warganya dari himpitan persoalan transportasi yang semakin ruwet ini.
Salah satu penyebabnya adalah pola pikir pemerintah daerah yang masih “lurus dan kaku”, tidak berpikir visioner secara berkelanjutan. Maka, walaupun wewenang yang dimiliki semakin besar dan luas, karena konsep yang dijalankan tidak berkelanjutan, pemerintah daerah tidak mampu menjernihkan transportasi. Justru wewenang dalam otonomi ini menghasilkan persoalan baru, munculnya ketidakadilan, lingkungan yang memburuk dan kelompok miskin semakin kehilangan akses dan perlindungan.
Salah satu pola pikir “lurus dan kaku” dapat dilihat dalam wacana jalan. Pada dasarnya jalan dibangun untuk memfasilitasi pergerakan manusia dan barang. Namun, saat ini konsep jalan tersebut telah bergeser dari jalan untuk manusia menjadi jalan untuk kendaraan. Hal ini tidak terlalu merisaukan jika kendaraan yang ada di jalan adalah non motor. Tetapi, sejarah kendaraan yang diawali dari kendaraan non motor dalam perkembangannya telah disingkirkan oleh industri dengan mengganti kendaraan bermotor. Sehingga, jalan saat ini pemahamannya include dengan eksistensi kendaraan bermotor.
Dus, padatnya jalan oleh kendaraan bermotor adalah bentuk nyata dari konsepsi jalan yang telah bergeser. Jalan telah menjadi kawan seiring dengan kepentingan industri. Untuk mendapat keuntungan, industri harus membuat pasar agar ada konsumsi kendaraan bermotor. Maka, jalan yang baik adalah prasyarat untuk membuka pasar yang lebih luas dan masif tersebut.
Dari logika melingkar ini, transportasi bukan lagi semata-mata persoalan teknis melainkan telah menjadi persoalan kepentingan politik yang saling bertarung, jalan untuk publik (manusia) atau jalan untuk bisnis (kendaraan). Namun bagi kekuatan industri, jalan harus menjadi komoditas menguntungkan, sehingga jalan untuk kendaraan adalah pilihan.
Gagasan inilah yang akhirnya menang dan menjadi mainstream dalam wacana transportasi saat ini. Salah satu pelaksana dari pola pikir jalan untuk kendaraan ini adalah pemerintah. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan kemacetan dan polusi adalah persoalan jalan sempit yang mengakibatkan laju kendaraan sangat lambat, sehingga polusi dari kendaraan semakin banyak. Maka, pelebaran atau pembangunan jalan baru adalah kebijakan yang paling tepat. Hal inilah yang dari dulu dilakukan oleh pemerintah pusat, yang sekarang didelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Konsistensi terhadap konsep “jalan untuk kendaraan”, sebenarnya dapat juga dikatakan bahwa pemerintah daerah telah menjadi tangan panjang dari kekuasaan industri yang hanya memikirkan keuntungan semata.
Perumusan Kebijakan yang “Otoriter”
Seharusnya dalam konteks otornomi daerah, pemerintah harus berinisiatif untuk membangun transportasi yang berkelanjutan sebagai bentuk pertanggung jawaban pemerintah terhadap public service. Pembangunan proyek ini tentunya harus diawali dengan konsep yang jelas (berkelanjutan). Paling tidak jika selama ini pemerintah berangkat dari konsep “jalan untuk kendaraan” dalam menyusun kebijakan transportasi, pemerintah harus mengembalikan konsep tersebut menjadi “jalan untuk manusia”.
Namun, usaha ini akan mengalami kegagalan dalam pencapaian tujuan jika melihat persoalan yang ada didepan mata kita. Beberapa persoalan yang mungkin bisa menjadi kendala dan hambatan untuk mewujudkan tujuan otonomi ini antara lain ketidakmampuan pemerintah daerah, tidak adanya prosedur yang jelas, dan proses politik yang “otoriter” dalam pembuatan kebijakan
Di Jawa Timur, dua kendala pertama diatas mungkin tidak terlalu merisaukan. Justru kendala ketiga yang selama ini menjadi persoalan pemerintah kita. Selama ini seluruh wilayah Jawa Timur, proses pembuatan kebijakan transportasinya dimulai dari sebuah lembaga yang bernama Badan Transportsi Daerah (BPTD) sebagai sebuah lembaga “think-tank” yang bersifat rekomendatif. Dalam banyak kasus, rekomendasi ini mengikat bagi kepala pemerintah, sehingga menjadi sebuah keputusan. Dus, dari lembaga inilah kebijakan transportasi bermuara, sehingga dapat dikatakan BPTD sangat “powerfull” dalam urusan transportasi.
Dalam konteks proses perumusan kebijakan sendiri ada dua isu yang relevan dibahas. Pertama, apakah pihak-pihak yang menjadi sasaran (target group) dari kebijakan tersebut sudah dilibatkan dan digali aspirasinya (transparency and participation principle). Kedua, apakah orang-orang yang merumuskan isi kebijakan tersebut mempunyai keterampilan dan kepekaan publik yang cukup untuk merumuskan sebuah kebijakan transportasi.
Dalam proses perumusan kebijakan transportasi di Jatim, pihak-pihak yang menjadi target group dari kebijakan tersebut dipastikan tidak dilibatkan dan digali aspirasinya. Kenapa? Karena dalam komposisi BPTD Jatim, sebagian besar anggotanya adalah lembaga pemerintah, sedangkan kelompok diluar negara (penumpang, awak kendaraan, dsb) tidak disertakan. Selain itu, komposisi BPTD yang dominan negara ini tidak dapat meyakinkan kita bahwa mereka mempunyai keterampilan dan kepekaan publik yang cukup untuk merumuskan sebuah kebijakan transportasi yang berkelanjutan.
Hal berbeda misalnya dengan DKI Jakarta yang memiliki Dewan Transportasi Kota (DTK) yang fungsinya sama dengan BPTD, tetapi dibentuk melalui fit and proper test, sehingga kita dapat memastikan bahwa mereka memiliki modal keterampilan dan kepekaan terhadap transportasi berkelanjutan. Selain itu DTK dapat leluasa menggali aspirasi target group karena keanggotaan DTK terdiri dari akademisi, pakar transportasi, Dinas Perhubungan, Kepolisian, pengusaha angkutan, LSM yang bergerak dibidang transportasi, awak angkutan dan masyarakat pengguna jasa transportasi.
Model perumus kebijakan seperti DTK inilah yang sebenarnya diperlukan untuk memaksimalkan kesejahteraan semua pelaku transportasi di Jatim. Dengan demikian, adanya lembaga semacam DTK (misalnya saja bernama Dewan/Komisi Transportasi Daerah), akan memperteguh cita-cita kita memiliki sistem transportasi yang berkelanjutan dan mudah diakses. Sehingga, otonomi daerah tidak hanya pendistribusian proyek pembangunan, tetapi juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan transportasi yang berkelanjutan, mudah diakses, memiliki akuntabilitas dan transparan.

No comments: