Friday, December 17, 2004

HAK ASASI MANUSIA DAN TINTA MERAH MEDIA MASSA

Hak Asasi Manusia dan Tinta Merah Media Massa
Oleh : E Musyadad)*

Kompas Jatim, Desember 2004

Freedom of expression atau kebebasan berekspresi merupakan hak setiap manusia, termasuk media massa Dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), media ditasbihkan sebagai pilar demokrasi yang dipercaya untuk melakukan investigasi, menulis, memberitakan apapun. Otoritas mencari dan menyebarkan berita inilah yang membuat media berfungsi sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan kita. Peran kontrol media ini juga termasuk “mengungkap” kasus korupsi. Namun, pertanyaan yang kemudian muncul mampukah media melakukan tugasnya? Apakah dalam tubuh media massa masih bersih dan belum tercemar penyakit korupsi? Apakah HAM yang berjalan dalam frame media berjalan lurus atau juga terjadi pemasungan HAM itu sendiri? Pertanyan-pertanyan inilah yang akan dijawab dalam tulisan singkat ini.


***
Apakah dunia jurnalisme berpotensi besar terlibat dalam praktik korupsi? Jawabannya jelas ya, karena awak jurnalisme selalu dihadapkan pada realitas harian yang terus berubah dalam beraneka ragam persoalan. Dari persoalan kecil hingga persoalan krusial yang menyangkut nasib orang banyak bahkan masa depan bangsa. Pada sisi inilah media rentan terhadap praktik korupsi, khususnya bagi wartawan yang terjun di lapangan.
Wartawan merupakan profesi yang memiliki nilai kemanusiaan jika dilakukan sejalan dengan etika profesi dan semangat investigatif. Peran wartawan yang konsisten terhadap etika jurnalisme memang sulit dan rumit serta membutuhkan energi yang lebih. Sehingga saat ini banyak wartawan telah “tergusur” kedalam praktik jurnalisme pragmatis. Hasil dari alur pemikiran ini kemudian membawa wartawan secara tidak sadar telah berdiri jauh dari kepentingan publik hingga yang paling ektrem menjadi wartawan yang larut dalam arus kekuasaan tertentu. Benarkah?
Wartawan yang sering dijuluki kuli tinta dan pendekar informasi dianggap profesi basah yang dapat menunjang kualitas hidup yang lebih dari cukup. Padahal sebaliknya, profesi wartawan sama dengan profesi lainnya bahkan bisa dikatakan profesi kering. Anggapan publik tersebut memaksa wartawan berhadapan pada hasil yang tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Maka, satu alasan pokok kenapa wartawan menerima amplop adalah karena profesi wartawan yang tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup. Alasan kedua dikarenakan tidak ada peraturan atau kode etik yang secara tegas melarang jurnalis menerima uang saku ini.
Sehingga, fenomena amplop dari nara sumber merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia jurnalisme. Muncul istilah wartawan bodrek, muntaber (muncul tanpa berita), WTS (wartawan tanpa suratkabat), pencari tek-tek dan nama negatif lainnya menjadi bukti lain budaya korup wartawan. Walaupun jumlah nominal uang yang diterima bervariasi, tergantung besar-kecilnya persoalan yang muncul, hal ini semakin memperburuk citra jurnalisme. Parahnya, hal ini telah menjadi sistemik yang terjadi dalam instansi pemerintah maupun swasta. Walaupun tidak “meminta”, tradisi ini akhirnya menjadi candu bagi wartawan untuk mendapatkan "delapan enam", kode lain untuk uang amplop.
Insan jurnalistik sendiri dalam melihat praktik uang saku justru bersikap moderat. Artinya, selama tidak mempengaruhi wartawan dalam menulis berita dan tidak melanggar kode etik jurnalisme, uang saku merupakan bentuk ucapan terimakasih dari nara sumber yang masih dapat ditoleransi. Sikap ini berangkat dari situasi “manusiawi” jurnalis yang memiliki kebutuhan keluarga. Walaupun disisi lain insan pers memproteksi agar uang saku tidak menjadi faktor krusial dalam menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Namun, toleransi ini memiliki titik lubang yang prinsipil dimana memberi kelonggaran bagi jurnalis untuk korup. Budaya amplop menyediakan kesempatan terhadap wartawan untuk meraup uang secara mudah tanpa reserve apapaun. Jika jumlahnya Rp 50.000 atau Rp 100.000, misalnya, boleh jadi itu memang sekadar uang transpor, tetapi, bagaimana jika amplop itu berisi Rp 1 juta atau kertas cek atau barang berharga lainnya?
Selain itu, persoalan uang saku akan memunculkan persoalan dilematis jika wartawan berhadapan dengan nara sumber yang berperilaku “godfather”. Wartawan yang telah mendapat uang saku dari “godfather” menjadi tidak berani mengungkap fakta lebih dalam dan yang bernilai negatif mengenai narasuber. Mencemari citra pers sebagai pilar demokrasi, penyakit yang satu ini juga menggerogoti komitmen serta independensi wartawan.
Salah satu contoh kasus yang terjadi di Malang misalnya, adanya “godfather” yang banyak berperan dibalik layar terhadap perkembangan kota ini. Sekedar menyebut nama saja sebagai suspect (tersangka) berita, tidak pernah dilakukan oleh wartawan. Jangankan “kejahatannya”, mengungkap eksistensi “godfather” di Malang saja tidak semua wartawan berani. Bukankah ini menjadi trend dalam jurnalisme yang terjadi tidak hanya di Malang, tetapi juga di kota-kota lain?
Hal inilah yang mengkhawatirkan bagi kebebasan pers kita kedepan. Maka, harus ada upaya untuk menjembatani ketidakberdayaan wartawan. Dalam melihat sauté kausal antara kebebasan pers dengan korupsi, sistem yang dijalankan menjadi penting. Karena praktik korupsi berkaitan dengan tidak adanya mekanisme yang tegas. Korupsi tidak semata-mata disebabkan individu yang jahat, tetapi juga didukung buruknya sistem yang dipakai.
****
Maka, sudah saatnya membangun sistem yang mampu memproteksi kebebasan pers, sekaligus melepaskan diri dari praktik korupsi. Salah satu langkah sederhana untuk memutus uang saku ini adalah dengan cara memenuhi standar hidup wartawan secara layak. Kebutuhan yang cukup ini akan menumbuhkan sikap tanggungjawab dan konsisten mengungkap fakta serta tidak tergiur dengan kepentingan sesaat.
Model ini juga disebut carrot and stick, memenuhi kebutuhan, tetapi juga menyiapkan hukuman. Maka hukuman tegas menjadi pilihan berikutnya jika praktik uang saku masih terjadi meskipun kebutuhan hidup telah terpenuhi. Hukuman tegas juga dimaksudkan sebagai shock therapy bagi insan pers lain yang memiliki potensi besar menerima uang saku. Maka, model carrot and stick menjadi kewajiban perusahaan media untuk mengembalikan jurnalisme kepada fungsi penegak nilai-nilai kemanusian.

E. Musyadad
Penulis adalah pekerja sosial di sebuah ornop, tingal di Malang
Read More..