Tuesday, October 05, 2004

KASUS MATOS, MEDIA BERDIRI DIPIHAK MANA?

Kasus Matos, Media Berdiri Dipihak Mana?
Oleh: E. Musyadad

Kompas, 30 September 2004

Salah satu berita yang paling menarik perhatian dalam bulan ini adalah prokontra pembangunan Malang Town Squer (Matos). Kenapa? Selain menimbulkan peritiswa buntutan, Matos merupakan representasi pertarungan kekuatan masyarakat Malang yang nyata. Pemodal, god father, pemerintah, pendidik, hingga aktivis lingkungan dan masyarakat biasa saling tarik menarik kepentingan. Sehingga peristiwa buntutannya pun menjadi persoalan besar, dari perubanan perda RTRW hingga ketegangan dalam demo dua kubu prokontra saat pencangan tiang Matos, Selasa 10 Agustus 2004 lalu.

Maka, media yang tersebar di Jawa Timur dalam pengamatan penulis tidak pernah luput memberitakan Matos secara terus menerus yang memuncak pada 11 Agustus 2004 saat memberitakan demo dua kubu prokontra dengan menjadi headline berita di medianya masing-masing. Menariknya, pada edisi yang sama --juga sebelumnya hingga sekarang-- muncul iklan besar dan berwarna tentang Matos. Dalam benak penulis, timbul pertanyaan dimana sebenarnya media kita berdiri?
***
Media massa merupakan sistem mediasi yang menyambungkan peristiwa kepada masyarakat umum dengan cepat. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada media, maka peristiwa-peristiwa yang seharusnya mendapat respon akan menjadi peristiwa tanpa isi. Maka, salah satu fungsi media menjadi alat kontrol dalam sebuah sistem sosial kita. Fungsi media ini kemudian berkembang menjadi “penyambung lidah rakyat” ketika publik tanda daya dihadapkan pada kekuasaan otoriter (negara) dan hegemonik (pengusaha).
Dalam persoalan Matos, fungsi ini terlihat dimana media memilih kepentingan umum dengan memberitakan Matos sebagai momok bagi masa depan kota Malang. Secara hukum misalnya, Matos melanggar Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang. Lebih jauh jika Matos ini berdiri akan berdampak pada ekologi kota yang semakin suram, minimal jalan Veteran yang saat ini sebagai jalan hijau akan berubah menjadi daerah macet dan polutif. Dan dalam proses perubahan RTRW ini, cerminan nyata bahwa kekuatan pemodal sangat hegemonik di Kota Malang.
Dari pemberitaan media tentang Matos ini yang “mewakili” kepentingan publik ini, juga menunjukan media tidak dipengaruhi oleh kekuatan kelompok “besar” secara vulgar/terang-terangan seperti dalam kasus pers orde baru kemarin. Sehingga, obyektivitas berita yang menjadi standar jurnalistik juga dapat dilihat dalam berita-berita yang muncul di media.
Adanya standar pemberitaan dan kode etik jurnalis yang kemudian menelurkan berita obyektif bukan tidak berarti menjadikan pengusaha patah arang. Justru, mereka semakin gencar membangun opini tentang pentingnya Matos berdiri di Malang dengan menggunakan cara lain. Salah satunya melalui iklan di media yang akhir-akhir ini termuat di beberapa media, termasuk media ini sendiri.
Dari wajah koran, kita disajikan dua kekuatan yang saling bertentangan. Ketika membuka koran dan membaca berita seputar Matos, kita menyadari adanya ketidakberesan dalam proses pembangunan, kita juga membayangkan lingkungan yang semakin buruk, dan bagiamana tokoh masyarakat memprediski dampak yang akan muncul akibat pembangunan Matos secara sosiologis. Namun, setelah dihadapkan pada sisi negatif pada halaman berita, kita juga disuguhi oleh gambar menarik, sebuah bangunan di pusat kota dengan 10 alasan “hoki” pada halaman iklan. Paling strategis, gede, lengkap, banyak, luas, luwes, terjamin, bagus, terpercaya, dan dibuka tahun depan saat musim liburan sekolah dan sebelum lebaran.
Dari iklan ini penulis membayangkan betapa suasana akan begitu menyenangkan jika Matos berdiri. Kita tidak akan kesulitan mencari barang dalam sekali tempuh. Selain itu, bagi yang bermodal tebal, usaha di Matos akan sangat menguntungkan. Dus, iklan telah menyapu mimpi buruk dan menampilkan mimpi indah. Kenapa?
Teks iklan bukan ditulis untuk mencatat sesuatu, tetapi untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Sebagai proses rekonstruksi dari sebuah obyek, sudah tentu teks iklan menggunakan tanda untuk merepresentasikan obyek tertentu. Maka, melalui teks iklan gagasan semiotik sosial, motif-motif (kebohongan-kebohongan) dibalik menjadi image dan disampaikan ke publik. Iklan sendiri ditandai dengan syaratnya imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai etitika untuk memperkuat citra terhadap obyek iklan itu sendiri, sehingga terbangun image. Semakin tinggi estitika dan citra obyek iklan, maka semakin tinggi nilai image. Dengan demikian respon masyarakat akan berbalik dari tidak tertarik menjadi sangat membutuhkan.
Kekuatan media massa kita yang mampu membangun theatre of mind melalui iklan ini akhirnya mengundang imajinasi tentang gambaran-gambaran positif dari sebuah obyek yang buruk. Berita seburuk apapun tentang sebuah obyek dalam berita (kalimat) jika kita sandingkan dengan gambar obyek yang telah dikonstruk dalam image tidak akan sebanding.
Maka, setelah kita menutup koran yang meliput Matos dan sekaligus membaca iklannya kita menjadi gamang. Bagi media ini sama sekali tidak menguntungkan, karena antara berita yang ingin disampaikan tidak sejalan dengan apa yang dilihat pembaca. Realitas ini meneguhkan bahwa media tidak banyak berarti bagi publik. Sikap ini justru mereduksi fungsi media sebagai kekuatan ambigu (the ambiguous power) dalam bersikap kritis.
Sebenarnya, gerak ambigu ini juga terkait dengan gejala pers yang selalu mengusung wacana konflik (peristiwa) sebagai tema berita terlaris yang menghasilkan nilai berita yang marketable. Persoalan inilah yang kemudian menarik dunia pers dalam pemberitaan konflik, walaupun sudah dibingkai dalam etika jusrnalistik sekalipun. Gejala berita konflik seperti ini oleh Benedict Anderson dikatakan sebagai upaya pers yang selalu mengedepankan ruang gerak keuntungan kapital dan akhirnya pers tidak lebih sekedar print of capitalism.
***
Maka, dalam persoalan pemberitaan Matos saat ini bukan pers atau pengusaha yang dirugikan melainkan masyarakat umum yang tidak punya akses terhadap pers. Media secara sengaja melakukan pemihakan kepada kekuatan dominan elit politik dan ekonomi serta menutup basis kekuatan masyarakat mendapat akses luas. Jika akses ditentukan oleh uang, media harus lebih responsif mencari dan membukakan akses berbicara. Sayangnya, selama ini akses yang dibuka bukannya idea centred, melainkan ditentukan oleh event centred. Artinya, bila terjadi peristiwa mereka baru diberi akses, tetapi kehendak laten yang selama ini tersembunyi tidak pernah menemukan saluran.
Relasi kuasa dalam persoalan pemberitaan Matos, menggambarkan betapa masyarakat selalu berdiri lemah. Ketika proses negoisasi mampat dan digantikan olek kesepakatan-kesepakan elitis, seharusnya media merupakan ruang aspirasi bagi kepentingan mereka. Namun, yang terjadi justru media secara sadar melakukan kesalahan fatal dengan model pemberitaan konflik dan kebijkan komersial yang mengarahkan kepada mimpi imajiner massa.
Maka, dari catatan yang rumit ini penulis masih mengajukan pertanyaan sama, dipihak mana sebenarnya media kita berdiri? Memang menyelaraskan antara perut (ekonomi) dan kepala (idealisme) seperti air dan minyak. Namun, bukankah kita harus terus berpikir dan berharap daripada membiarkan Malang menjadi kota yang angkuh terhadap lingkungannya.

Penulis tinggal di Malang
Read More..